[caption id="attachment_360814" align="aligncenter" width="512" caption="PR yang bikin heboh itu. Gambar dari portal yahoo.com"][/caption]
Postingan Facebook Muh. Erfas Maulana tanggal 18 September lalu menjadi perhatian banyak netizen. Yahoo.com pun mengangkatnya menjadi salah satu topik berita di portalnya. Kisahnya, Muhammad Erfas Maulana membantu adiknya yang masih duduk di bangku kelas 2 SD mengerjakan PR 10 buah soal Matematika. Salah satu soalnya seperti ini
“4+4+4+4+4+4 = …..x….. = …….”
Untuk si adik yang kemampuan kognitifnya baru setara dengan perhitungan tersebut mungkin soalnya agak rumit. Tapi bagi Erfas seorang mahasiswa Teknik Mesin, tentu soal semudah itu dilahapnya dengan mudah. Maka Erfas mengajari adiknya dengan jawaban
“4+4+4+4+4+4 = 4 x 6 = 24”
Cara yang sama dilakukan dengan sembilan soal lainnya.
Ternyata jawaban tersebut dinyatakan salah oleh guru si adik. Jawaban yang benar untuk soal di atas adalah
“4+4+4+4+4+4 = 6 x 4 = 24”
Perhatikan letak angka 4 dan 6 yang tertukar. Dari sepuluh soal hanya dua yang benar. Itu pun karena kebetulan pada soal yang benar itu seperti ini
“8+8+8+8+8+8+8+8 = 8 x 8 = 64” dan
“4+4+4+4 = 4 x 4 = 16”
Jadi mau dibolak-balik bagaimanpun pasti susunannya sama.
Erfas rupanya tidak terima dengan nilai adiknya, sehingga mengunggah gambar PR tersebut dan mengajak netizen untuk berdiskusi. Erfas menyayangkan penilaian guru yang terlalu kaku. Padahal secara hukum matematika sama saja. Walaupun tersirat kekesalannya pada guru si adik, Erfas cukup santun mengeluarkan kata-kata di dindingnya.
Tanggapan netizen pun berdatangan, ada yang setuju dengan opini Erfas, ada pula yang kurang setuju. Sampai saat ini postingan Erfas Maulana tersebut sudah dikomentari lebih dari 100 kali, dan dibagikan lebih dari 7.000 kali. Luar biasa. Dikit lagi Erfas dipanggil jadi tamu acara talkshow di TV nih.
Jika dipikir-pikir, kedua pihak (Erfas Maulana maupun Guru SD) sebenarnya sama-sama benar, tapi juga sama-sama punya kesalahan, tergantung sudut pandang mana yang mau diambil.
Dalam operasi bilangan matematika, kita mengenal hukum komutatif pada perhitungan dengan operator “kali” atau “tambah”. Hukum komutatif berarti kita bisa mempertukarkan dua angka yang diantarai operator tadi karena tidak akan mengubah hasilnya. Misalnya: 2 x 11 sama saja dengan 11 x 2. Dari sudut pandang itu, pendapat Erfas benar adanya. Apalagi mindset Erfas adalah mindset seorang mahasiswa teknik, yang pengetahuan matematik-nya sudah sampai pada tahap lanjut. Perhitungan matematikanya sudah sangat aplikatif disertai dengan analisis-analisis mendalam. Sehingga memang rasanya akan jadi aneh kalau guru memberi penilaian besar pada susunan angka, yang tidak akan mengubah hasil perhitungan. Dari sudut pandang itu, malah guru SD itu yang sedikit kleru karena tidak memberikan penjelasan atau contoh sebelumnya.
Namun jika kita menilik dari sudut pandang guru Sekolah Dasar yang tugas utamanya adalah menanamkan dasar dan nilai-nilai kepada anak didiknya, penilaian guru SD tersebut benar adanya. Perhitungan “4+4+4+4+4+4” memiliki arti ada 6 kali angka 4 yang harus dihitung. Jadi susunannya memang harus 6 kali 4. Jadi guru memberi penilaian pada alur berpikir anak didiknya sebelum menemukan jawaban setiap soalnya. Jika tidak, guru tidak usah membuat soalnya lebih panjang. Cukup 4+4+4+4+4+4=24. Selesai sudah!
Saya melihat, komentar-komentar pada FB maupun pada pembaca berita di yahoo.com mencoba mereduksi matematika itu menjadi sebuah pertentangan antara proses atau hasil. Padahal matematika harus kita lihat secara holistik. Memang pada tataran praktis, hasil menjadi jauh lebih penting. Tapi jangan lupa, untuk mendapatkan hasil harus ada proses yang dilewati.
Pelajaran yang bisa kita petik dari berita ini adalah sebuah refresh untuk melihat kembali kehidupan kita. Mungkin memang sebagian besar masalah bangsa ini disebabkan oleh diabaikannya sebuah jalan bernama “proses”. Masyarakat lebih suka merasakan hasilnya tanpa mau capek-capek menjalani proses untuk mencapai hasil tersebut.
Anak-anak sekolah ogah disuruh belajar, tapi tetap mau naik kelas. Makanya menjelang ujian sibuk mempelajari jurus-jurus nyontek. Pesohor banyak yang mau terkenal tapi tidak mau repot berprestasi. Jadi caranya gampang, bikin berita sensasi saja. Fitnah kanan kiri tidak masalah, yang penting tenar. Mau punya barang mewah tapi enggan menabung, yah masa sekarang ini gampang saja. Banyak lembaga pembiayaan yang siap menebar kredit. Pejabat yang maunya terus berkuasa, tapi enggan mengabdi kepada rakyat, jadinya suap kanan kiri dibarengi korupsi kecil-kecilan atau besar-besaran.
Contoh-contoh lain pada masyarakat kita masih banyak. Maunya serba instan! Inilah salah satu penyakit sosial budaya yang akhir-akhir ini menghinggapi kita. Tanpa dasar dan nilai kuat yang ditanamkan sejak dini, orang memang akan menjadi mudah gelap mata sehingga untuk mencapai tujuannya cenderung memilih proses yang lebih lebih mudah, walaupun seringkali tidak benar.
Di akhir tulisan, saya berterima kasih kepada Muhammad Erfan Maulana yang telah berbagi kisah ini. (Saya coba add tapi, rupanya akun FB-nya sudah mencapai batas request perkawanan). Kisah sederhana tapi kaya makna karena telah kembali mengingatkan kita akan pentingnya sebuah proses sebelum mencapai hasil yang diinginkan. (PG)
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H