[caption id="attachment_385371" align="aligncenter" width="532" caption="Pulau-pulau kecil di tengah danau Napabale. Gambar: Dokpri"][/caption]
Memang tidak sepopuler dan semegah Danau Toba di Sumatra Utara atau Danau Poso di Sulawesi Tengah, tetapi Napabale selalu saja menitipkan kesan mendalam bagi siapapun yang mengunjunginya. Terletak di Desa Lohia sekitar 15 Km di arah sebelah Selatan kota Raha, ibu Kota Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Dari ibukota Propinsi, Kendari, pengunjung masih harus menggunakan transportasi laut berupa kapal cepat selama kurang lebih 3 jam untuk sampai ke kota Raha.
Awal Desember yang lalu, saya kebetulan mengambil cuti tahunan untuk liburan bersama keluarga di Raha kota kelahiran saya itu. Saya tidak melewatkan kesempatan tersebut untuk mengajak mereka berkunjung ke Danau Napabale, salah satu destinasi wisata yang langsung muncul di kepala saya. Menumpang pada kendaraan umum berupa mobil colt antar desa bisa jadi salah satu alternatif sarana transportasi menuju kesana. Namun saat itu kami dalam rombongan lima orang, membawa sejumlah bekal untuk makan siang dan hanya menyediakan waktu setengah hari, maka kami memilih menggunakan mobil rental untuk mengantar kami.
Hanya butuh waktu kurang lebih setengah jam, mobil yang kami tumpangi sudah memasuki kompleks danau Napabale. Dari areal jalan masuk yang terhubung dengan tempat parkir mobil, pengunjung bisa langsung memuaskan mata memandang hamparan danau dari ketinggian. Untuk mencapai sisi danau, pengunjung masih harus menuruni undakan yang cukup landai. Di sisi danau inilah pengunjung melakukan segala aktivitasnya. Di salah satu sisi danau, ada dermaga kecil tempat berlabuhnya beberapa perahu yang bisa disewakan kepada pengunjung. Beruntung saat itu cuaca sedang cerah, sehingga kami bisa memuaskan mata menikmati danau alam yang indah tersebut.
Kami berkunjung pada hari Sabtu sehingga danau ini tidak terlalu ramai. Jumlah pengunjung biasa meningkat pada hari Minggu atau hari libur lainnya. Tujuan kedatangan pengunjung bermacam-macam, ada yang sekedar refreshing saja, ada yang refreshing sekaligus jeprat-jepret merekam keindahan alam, ada yang ingin berenang menikmati segarnya air danau, ada yang ingin berekreasi bersama keluarga atau sahabat. Sebenarnya niat awal kami selain ingin bertamasya juga ingin berenang, tapi sayang sekali saat berkunjung air danau sedang surut-surutnya.
Danau Napabale terletak pada areal seluas kurang lebih lima hektar. Tidak seperti danau pada umumnya yang terisi dengan air tawar, danau Napabale terhubung dengan laut Selat Buton melalui terowongan alam sepanjang kurang lebih 30 meter sehingga airnya terasa asin. Selain itu, permukaan danau juga mengalami pasang dan surut mengikuti irama pasang surut air laut. Terowongan tersebut hanya bisa dilewati pada saat air laut sedang surut, sedangkan jika air laut sedang pasang terowongan akan penuh tertutup oleh air. Pada gambar diatas nampak pulau-pulau kecil di tengah danau sampai terlihat dasarnya, padahal kalau air danau lagi penuh, pulau-pulau tersebut hanya nampak permukaan pulaunya saja.
Untuk mengganti niat berenang kami yang tak kesampaian, kami menyewa sebuah perahu gandeng yang mengantar kami berkeliling danau. Tarifnya Rp 50.000, sekali trip. Bapak tukang perahu mengantar kami ke sisi paling barat danau Napabale. Disitulah terletak terowongan alami yang menghubungkan Napabale dengan laut lepas. Kami cuma bisa menikmati  pemandangan bibir terowongan dari jauh, soalnya lebar terowongannya tak seberapa dibanding lebar perahu  gandeng kami.
Saat masih bocah dulu saya pernah ikut dalam rombongan yang menyusuri terowongan tersebut. Saat itu perahu yang kami tumpangi perahu kecil. Air laut juga sedang surut sehingga pengemudi perahu bersedia mengantar kami menyusuri terowongan keluar ke laut. Tetapi saat berada di tengah terowongan, bapak tukang perahunya tersadar kalau saat itu air laut mulai pasang. Bapak itu khawatir kami nanti keasyikan bertamasya sehingga air laut keburu penuh dan kami tak bisa kembali ke danau. Jadi kami pun memutar perahu dan kembali ke arah danau.
Di tepi barat danau ada beberapa rumah warga petani rumput laut. Sehingga kami meminta kepada bapak tukang perahu untuk mampir sebentar dan mengamati aktivitas mereka dari dekat. Kebetulan saat itu mereka sedang baru saja selesai panen dan sedang memasang bibit rumput laut yang baru. (PG)
[caption id="attachment_385372" align="aligncenter" width="516" caption="Pemandangan saat perahu kami yang kami tumpangi parkir di dekat rumah warga. Gambar: Dokpri"]
[caption id="attachment_385374" align="aligncenter" width="553" caption="Rumput laut yang baru saja dipanen. Gambar: Dokpri"]
[caption id="attachment_385375" align="aligncenter" width="553" caption="Air surut membuat dasar danau terlihat jelas. Gambar: Dokpri"]
Saat matahari siang mencapai puncaknya, perahu kami diarahkan kembali ke dermaga kecil. Perut sudah mulai konser minta diisi sehingga kami mencari gazebo yang masih kosong untuk membuka dan menikmati bekal makan siang yang sudah kami siapkan dari rumah.
Tempat eksotis ini sebenarnya layak dipromosikan ke luar daerah. Hanya sayang pengelolaannya belum maksimal. Tidak seperti berkunjung ke tempat wisata kebanyakan, tidak ada karcis atau pungutan biaya di pintu masuk. Kami hanya dimintai iuran oleh salah satu petugas yang mengatur parkir, kebersihan dan sarana prasarana di danau tersebut. Kalau tidak salah saat itu kami membayar Rp 15.000,- untuk lima orang.
Fasilitas standar memang sudah ada seperti WC/toilet dan mushala. Tapi saya tidak menemukan lagi perahu-perahu bebek yang dulu banyak bertebaran di tepi danau siap mengangkut pengunjung yang ingin menyusuri danau. Saat bertanya kepada salah satu pedagang makanan kecil disitu, mereka menjelaskan kalau perahu-perahu bebek sudah lama tidak digunakan lagi karena banyak yang rusak. Â Sebuah aula terbuka yang dulu berdiri megah di atas danau tempat pengunjung bisa beristirahat sambil memandang keindahan danau dari ketinggian juga sudah tidak ada lagi.
Tapi nampak juga beberapa perbaikan di tempat ini, seperti kebersihan yang lebih tertata. Juga di tepi danau dibangun banyak gazebo-gazebo tempat pengunjung beristirahat. Kami pun menggunakan salah satu gazebo saat makan siang bersama. Upaya pemerintah setempat untuk mengangkat potensi wisata Napabale sebenarnya sudah terlihat dari diadakannya festival Napabale yang diselenggarakan akhir tahun 2012 lalu dan diisi sejumlah perlombaan untuk memancing kehadiran wisatawan dari dalam dan luar daerah. Saat itu beberapa stasiun TV nasional juga menampilkan liputannya seputar festival tersebut. Â Ada wacana menjadikan festival tersebut sebagai hajatan rutin pemerintah daerah, juga pemerintah melengkapi fasilitas di tempat ini dengan membangun panggung hiburan terapung (panggung hiburan di atas air danau). Mudah-mudahan rencana pemerintah untuk menggenjot promosi danau Napabale ini bisa cepat terealisasi.
[caption id="attachment_385376" align="aligncenter" width="491" caption="Pemandangan dermaga kecil dan beberapa gazebo. Gambar: Dokpri"]
[caption id="attachment_385377" align="aligncenter" width="553" caption="Pose di bawah salah satu ceruk karang. Saat air danau pasang, ceruk itu tertutup seluruhnya oleh air. Gambar: Dokpri"]
Setelah makan siang kami masih menunggu sebentar, berharap air danau mulai pasang kembali. Namun rupanya air danau masih saja terus surut. Kami pun memutuskan untuk pulang meninggalkan danau Napabale. Walau niat untuk berenang tidak kesampaian, kami tetap bersyukur diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menikmati  salah satu keindahan alam ciptaan-Nya. Harapan kami suatu waktu bisa berkunjung kembali pada momentum yang lebih tepat. (PG)
(Bonus video amatir saat perahu kami mendekati ujung terowongan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H