Mohon tunggu...
Phoenixius Kenneth Ryuta
Phoenixius Kenneth Ryuta Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Student

Saya suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Katolik di Pesantren? Merajut Kebersamaan, Mencari Kedamaian

18 November 2024   22:57 Diperbarui: 18 November 2024   23:42 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setelah makan siang bersama/dok. pri

"Ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah." Ungkapan bijak ini terasa tepat saat melangkah menuju pesantren Al Marjan di Lebak, Banten, sebuah tempat yang menawarkan banyak pelajaran hidup yang mendalam. Dalam perjalanan tiga hari dua malam yang dimulai pukul 8 pagi dengan bus, berbagai pengalaman menarik, menyentuh hati, dan kadang menguji kesabaran dirasakan bersama anggota kelompok. 

Meski perjalanan terkesan singkat, makna yang terkandung di dalamnya begitu mendalam. Tentu rasa takut dan malas menyerang pikiran dan batin, tetapi rasa penasaran dalam diri terlalu kuat untuk diredamkan.

Hari Pertama: Menyesuaikan Diri dengan Tradisi Baru

Setibanya di pesantren, suasana hijau yang sejuk disertai dengan udara yang segar langsung memberikan rasa damai dan tenang. Namun, karena santri-santriwati masih dalam sesi pembelajaran, waktu harus dihabiskan selama satu jam menunggu tanpa aktivitas berarti. 

Dalam penantian itu, waktu seakan berjalan lambat tiada henti, dan saat akhirnya acara pembukaan dimulai, ada sedikit keterlambatan karena harus menunggu Pak Kiai yang belum datang. Hal ini menjadi pelajaran awal tentang pentingnya kesabaran dan toleransi dalam menghargai waktu orang lain.

Setelah makan siang bersama/dok. pri
Setelah makan siang bersama/dok. pri

Setelah acara pembukaan yang sederhana namun penuh makna, momen makan siang pun tiba. Cara makan yang berbeda dari biasanya, yakni dalam satu wadah besar yang dibagi untuk lima orang, memberi pengalaman unik. Kebersamaan dalam berbagi hidangan ini menunjukkan bahwa makan bukan sekadar untuk mengisi perut, tapi juga merupakan sarana mempererat hubungan dan kebersamaan. Menggunakan tangan untuk makan memang menjadi tantangan tersendiri bagi yang belum terbiasa, tetapi di balik tantangan itu ada makna kebersahajaan yang mendalam.

Usai makan, kesempatan untuk beristirahat sejenak di kamar muncul sebelum sesi mengaji dimulai. Kamar yang tersedia secukupnya cukup baik, walau satu ruangan untuk 20 orang, tapi itu melatih kebersamaan dan rasa syukur. Salah satu hal baru yang dipelajari adalah cara memakai sarung, sesuatu yang mungkin terdengar sepele namun ternyata membutuhkan latihan. 

Saat sesi mengaji, seorang ustaz menyampaikan bahwa seseorang yang meninggal karena berjuang dalam perang atau bahkan wanita yang meninggal ketika hamil akan masuk ke surga. Penjelasan ini memberikan perspektif baru tentang hidup dan kematian dalam sudut pandang agama yang menenangkan dan memperluas wawasan spiritual. Tentu perbedaan spiritual ini menjadi sebuah kunci menjaga toleransi di negara ini.

Malam harinya, para santri menghibur dengan berbagai kegiatan seni, mulai dari menyanyi, pidato, hingga membuat lelucon. Menjadi perhatian utama para santriwati dengan disogoki pertanyaan apakah berasal dari luar negeri atau mungkin orang Korea menjadi pengalaman yang menarik. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun