Mohon tunggu...
Bambang Wahyu
Bambang Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - Suka musik blues, filsafat, dan karya sastra bermutu

The Dancing Wu Li Master

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Pengakuan: Multikulturalisme dan Tantangan Demokrasi

9 Agustus 2023   11:44 Diperbarui: 9 Agustus 2023   11:50 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dilema demokrasi di Indonesia adalah keragaman etnis, agama, budaya, dan nilai kehidupan. Sementara preferensi model demokrasinya proseduralisme. Preferensi ini melihat konsep kewarganegaraan sebagai hak dengan bermacam keutamaan dan jenis partisipasi politik. Berhadapan dengan keragaman itu, tantangan proseduralisme adalah pengakuan keutamaan politik itu yaitu sejauhmana kedaulatan warga negara melahirkan keutamaan politik dan proliferasi partisipasinya.

Konsep warga negara disusun dari beragam identitas dan kepentingan politik. Will Kymlicka (1995) menyebutnya "warga negara multikultural" (multicultural citizenship). Konsep ini, sebagaimana diakui Kymlicka, bukan tentang relasi imigran dengan pribumi sebagaimana Alan Badiou dalam Being and Event (2006) dan Jorge Valades dalam Deliberative Democracy, Political Legitimacy, and Self-Determination in Multicultural Societies (2001) melainkan relasi asimetris kelompok mayoritas dengan minoritas.

Keunikan masyarakat multikultur di Indonesia inheren dalam identitas budaya. Beragam etnis, agama, dan gender melahirkan variasi kemampuan, orientasi politik, dan nilai kehidupan. Interaksi yang inklusif pada beberapa sisi menghapus identitas minoritas sebagai "yang liyan" (the other). Tapi menakar inklusivitas dengan "politik pengakuan" (politics of recognition) akan berbeda karena dalam realitas, politik berkenaan dengan identitas dan kepentingan. Pengakuan keutamaan hak politik kelompok etnis, agama, dan gender akan melahirkan model partisipasi warga negara minoritas dalam otonomi regional, representasi politik, hak pengelolaan tanah dan sumber daya alam, dan pengembangan warisan nilai kehidupannya.

Politik Pengakuan

Charles Taylor (1994: 25) melihat korelasi pengakuan dengan identitas manusia. Politik pengakuan adalah karakter dialogis identitas manusia. Seseorang bisa memahami dan mengerti dirinya manakala berinteraksi dengan orang lain. Dalam interaksi, seseorang mampu membuat putusan logis tentang yang baik dan buruk, yang bermakna dan penting. Interaksi yang setara menempatkannya dalam situasi dihargai (self-esteem) dan dihormati (self-respect). Keberadaannya pun diakui oleh orang lain sehingga identitas diri muncul bersama dengan yang lain.

Demokrasi telah menghantarkan politik pengakuan ini dalam prinsip kebebasan dan kesetaraan. Dalam demokrasi, manusia adalah tujuan atau muara dari kekuasaan demokratis. Pengakuan terhadap identitas plural, kesejahteraan ekonomi, dan kebebasan politik menjadi kerangka acu dalam political imaginary demokrasi. Sifat demokrasi yang open system menjamin manusia bukan sebagai alat kekuasaan. Dalam situasi kontemporer, politik pengakuan merupakan penguatan identitas politik pada masyarakat multikultur yang merumuskan model asimilasi warga negara. Model ini menawarkan pendekatan inklusif terhadap warga negara dengan mengakomodir perbedaan identitas (Kymlicka, 2002: 327).    

Di Indonesia, politik pengakuan adalah incognito agama dan etnis pada diversifikasi sosial dan pluralisme, yang berjalan beriringan dengan penguatan identitas dan kepentingan. Kompetisi antar agama atau etnis seringkali mengubah wajah politik Indonesia menjadi enigma yang menakutkan. Persoalan politik identitas, populisme, dan keadilan sosial menyeruak dalam karikatur demokrasi ini.

Will Kymlicka (2002: 328) menyebutkan gagasan yang muncul adalah identitas dan kepentingan politik mana yang harus dipromosikan dalam karikatur demokrasi seperti ini: identitas nasional atau integrasi nasional. Identitas nasional cenderung menyeragamkan. Semua dihitung sebagai kesatuan (counted as one, menurut Alan Badiou). Adapun integrasi nasional mengklarifikasi beragam inkonsistensi identitas dan kepentingan itu untuk becoming as one.

Dengan kata lain, identitas nasional menjadi tujuan kolektif sedangkan integrasi nasional adalah prosesnya. Identitas nasional menjadi legitimasi demokrasi yang substansial bergantung pada outcome kalkulasi kepentingan politik melalui keputusan kolektif. Tapi dalam prosesnya, mengintegrasikan pelbagai identitas dan kepentingan partikular menjadi "kebaikan bersama" (common good) melibatkan mutual understanding, kepercayaan, dan solidaritas (Kymlicka, 2002: 329). Di sini sering muncul politik pengakuan tentang "yang liyan" sebagai bentuk marjinalisasi dan stigmatisasi.

Kekhawatiran ini tidak berlebihan mengingat demokrasi prosedural menggaungkan otoritas kolektif pada kebijakan naratif-nya. Kebebasan dan kesetaraan merupakan hasil penghitungan yang kolektif.

Demokrasi Deliberatif

Pada masyarakat multikultur terdapat beberapa prasyarat antropologis demokrasi, yaitu meruangkan deliberasi publik, pemahaman interkultural dan kerja sama serta penentuan harkat komunal (communal self-determination) (Valadez, 2001: 341). Habermas (1996) menyebutkan ruang publik (Offentlichheit) adalah keinginan dan kemampuan membagi informasi dan ide bersama untuk membentuk opini publik melalui praktik diskursif atau dialog. Ruang publik merupakan ranah yang tidak diintervensi oleh negara dan kepentingan ekonomi. Deliberasi ruang publik merupakan upaya menghidupkan beragam praktik diskursif sebagai upaya demistifikasi yang politik dan menghidupkan antagonisme. Politik dan demokrasi bukan hal tabu untuk diperbincangkan. Perbedaan pendapat dan resistensi adalah konsekuensi logis yang mengiringinya. Praktik diskursif di pelbagai ruang publik memberikan banyak diskursus alternatif.

Adapun antagonisme menegaskan bahwa dalam demokrasi selalu terkandung makna "ruang kosong" kekuasaan di mana tak satu pihak pun yang berhak mengklaim sebagai pemilik tunggal serta temporalitas kekuasaan. Antagonisme memberikan peran politik bagi yang menang dan yang kalah. Oposisi biner dari pihak yang kalah merupakan konsekuensi demokrasi yang tak terelakkan. Dalam antagonisme, tujuan demokrasi deliberatif adalah mendeliberasi publik untuk berpartisipasi dalam merumuskan diskursus sosial dan kebijakan publik (Valadez, 2001: 31).

Pemahaman interkultural adalah penerimaan terhadap situasi sosial, many things to many people. Pluralitas dapat menjadi modal sosial yang efektif. Pemahaman interkultural dalam demokrasi deliberatif didasarkan pada dua prinsip, yaitu: a) rasionalitas publik sebagai pedoman prosedur politik, dan b) tindakan politik sebagai tindakan publik (Parkinson, 2006: 3). Validitas praktik diskursif atau dialog ditentukan oleh sejauhmana para partisan menjunjung tinggi rasionalitas tindakan dialogisnya, yang kemudian menjadi frame of reference semua pihak. Karena dilakukan di ranah publik maka praktik diskursif itu menjadi tindakan politik sehingga setiap tindakan politik bukan lagi privacy tapi telah menjadi diskursus sosial. Untuk itu diperlukan political imaginary dalam menghimpun daya kreatif menyusun skema ekuitas sesama warga negara. Becoming as one bukan uniformitas tapi kesediaan menerima "yang liyan" sebagai mitra dalam mengisi ruang sosial.

Apa relevansi politik pengakuan dengan demokrasi deliberatif? Keragaman interaksi sosial ditransformasikan ke ranah digital dan menjadi mediated social encounter. Persoalannya dinamika di ranah digital ini semakin luas tak mampu dibendung oleh partisi moral. Ranah digital menyusun ruang publiknya sendiri dan melepaskan diri dari legitimasi interaksi sosial.

Daftar Pustaka

Habermas, Jurgen. Between Fact and Norm: Constribution To A Discourse Theory of Law and Democracy. (trans, by William Rehg). Cambridge: MIT Press. 1996

Kymlicka, Will. Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights. Oxford: Clarendon Press. 1995

_________________. Contemporary Political Philosophy (2nd edition). Oxford: Oxford UP. 2002

Parkinson, John. Deliberating in The Real World: Problem of Legitimacy in Deliberative Democracy. NY: Oxford UP. 2006

Taylor, Charles. Multiculturalism: Examining Politics of Recognition (edited by Amy Gutmann).

New Jersey: Princeton UP. 1994

Valadez, Jorge M. Deliberative Democracy, Political Legitimacy, and Self-Determination in Multicultural Societies. Colorado&Oxford: Westview Press. 2001

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun