Mohon tunggu...
Bambang Wahyu
Bambang Wahyu Mohon Tunggu... Dosen - Suka musik blues, filsafat, dan karya sastra bermutu

The Dancing Wu Li Master

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Hospitality

20 Mei 2020   02:07 Diperbarui: 20 Mei 2020   02:39 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Tak jarang ketika bertanya tentang alamat, respon pertama yang kita dapatkan adalah tatapan mata penuh curiga atau rasa tidak senang karena telah mengganggu aktivitasnya.

Dalam bahasa Indonesia, hospitality bermakna "keramahtamahan". Sistem nilai yang menjadi modal personal dan sosial dalam interaksi yang bernas.

Keramahtamahan adalah nilai universal, tak lekang oleh panas tak lapuk karena hujan. Tinggal di hutan amazon pun ada keramahtamahan, hidup tahun 1965 juga akan menemukan keramahtamahan. Cuma sistem nilai ini tidak dimiliki semua orang. Alih-alih, hanya segelintir yang memilikinya.

Penyebutan rumah sakit sebagai hospital, tentu mengandung nilai etik sebagai code of conduct pelayanan medis. Pasien adalah personal yang lemah secara medis, membutuhkan perawatan dan bantuan, rapuh psikis, bahkan ada disabilitas fisik atau mental.

Karena semua proses pelayanan medis berangkat dari hospitality maka ia menjadi worldview rumah sakit dengan asumsi berlaku ramah mampu menyembuhkan sebagian besar penyakit pasien sebelum minum obat. Dengan keramahtamahan, pasien "dimanusiakan",  empati atas penderitaannya, dan memotivasinya untuk sembuh.

Karakter atau Budaya
Bagi sebagian, keramahtamahan adalah karakter. Dimensi internal yang terpatri dalam kesadaran dan manifes dalam sikap. Sebagai karakter, ia bukan sikap artifisial melainkan kapasitas diri yang menyeruak dalam tindak tutur dan tindak gestur. Karakter ini pun tidak given tapi ditempa oleh jalan terjal onak berduri dan akhirnya mewujud pada kebijaksanaan budi pekerti.

Bagi sebagian yang lain, keramahtamahan adalah nilai yang dibagi melalui simbol dan perilaku komunitas. Perayaan tradisi mengajarkan untuk beramahtamah dengan lingkungan alam. Mudik lebaran beramahtamah dengan lingkungan sosial.

Pada budaya yang mengagungkan komunitarianisme, akan mudah ditemukan senyuman dan sapaan walaupun tak kenal. Keramahtamahan melekat dalam keseharian: saling tegur sapa, membantu menyelesaikan pertengkaran, tidak terlalu vulgar mengungkapkan emosi, atau membantu orang asing.

Kita akan disuguhkan suasana batin intimacy dan indahnya kebersamaan. Pada akhirnya, ini pun menjadi modal personal bagi anggota komunitas manakala di luar. Nilai budaya mempengaruhi karakternya di manapun berada.

Di masyarakat urban yang kompleks, keramahtamahan mengalah pada prinsip efisiensi dan efektivitas. Atas nama kecepatan, ketelitian, efisiensi waktu dan tenaga, nilai itu sengaja dihilangkan.

Jika kita mengurusi satu keperluan di kantor publik, swasta, lembaga pendidikan, jarang ada keramahtamahan. Mereka melayani secara efisien, kalau tidak terkesan judes. Tidak ada intimacy dan dialog pun ala kadarnya.

Beberapa perusahaan dengan prinsip costumer service melayani dengan keramahtamahan artifisial, hanya sebatas kompetensi etis, atau pengejawantahan code of conduct-nya. Perbankan, jawatan transportasi, hotel dan restoran. Keramahtamahan itu tidak lahir dari karakter tapi paksaan budaya perusahaan dengan tujuan jelas, seeking profit, walhasil tidak menemukan the main idea of hospitality.

Petugas bandara di banyak negara Asia sepertinya tidak lagi mengenal kosa kata keramahtamahan. Penumpang selalu dicurigai seakan-akan semuanya adalah pelaku kriminal dan kampungan, sementara mereka memposisikan diri sebagai superior. Padahal sejatinya, gaji mereka diperoleh dari penumpang.

Maka ada distansi antara keramahtamahan sebagai sistem komunal dengan perilaku keseharian. Sebuah dramaturgi relasi rhizomatic a la Deleuze dan Guattari yang kering nilai dan proseduralisme. Dan bagi yang terbiasa dengan paradigma keramahtamahan itu akan selalu menemukan kegersangan makna hidup dan teralienasi dalam gemuruhnya interaksi.

Perbedaan dan Penundaan
Jacques Derrida, filsuf post-strukturalis Prancis, melihat keramahtamahan bukan sebagai nilai tapi sebagai teks. Teks yang bermakna karena kombinasinya dengan yang lain. Keramahtamahan memiliki hubungan referensial tanpa batas. Bukan nilai yang soliter dan terisolir.

Keramahtamahan adalah structure of difference, yang maknanya terkadang mengganti sesuatu yang tidak hadir: sebagai pembeda (to differ) dan sebagai penunda (to defer). Pengucapannya sama tapi penulisannya berbeda. Ini adalah paradoks awal sebuah teks karena kita hanya dapat melacak trace-nya. Implikasinya, keramahtamahan bersisi ganda, makna bergantung dari penggunaannya, meaning in use, yang terikat dengan sesuatu dan sesuatu yang lain.

Sederhananya, dalam keramahtamahan terkandung teks ketulusan, kebaikan,  citra diri, dramaturgi peran, kematangan emosi, relasi politik, kepentingan ekonomi. Teks ini memproduksi teks lain dan maknanya tanpa batas. Bahkan menjadi penjelas kebalikannya: yang buruk dan yang tidak estetis.

Untuk yang terakhir misalnya pada performance topeng bondres Bali. Dalam enigma wajah buruk secara estetis terselip keramahtamahan dan kebijakan yang menghibur. Makna teks pun bergantung dari perspektif yang melihatnya.

Sebagai pembeda, keramahtamahan merupakan oposisi biner kebencian, keraguan, atau opresi terhadap yang liyan. Sikap ramahtamah menegaskan alteritas tentang yang ramah dari yang lain. Menemukan satu orang yang ramahtamah dalam kepungan teks kebencian laiknya oase di padang pasir.

Sebagai penunda, ada permainan psikis di sana. Keramahtamahan bermakna menunda egoisme, kejengkelan, kemarahan. Semacam "disjungsi subjektif" Lacanian, yaitu keluar dari diri dan memposisikan bersama yang lain. Melayani dengan keramahtamahan adalah menunda kepentingan diri, memberi sedikit kesempatan dialog, atau menjadi good listener.

Jika semua itu tergusur, yang tersisa adalah sekeping realitas sosial tanpa nilai humanisme. Sepi dalam kegaduhan, sendiri dalam keramaian. Dan semua orang lupa dengan hakikatnya sebagai mahluk sosial yang tidak bisa hidup soliter dan membutuhkan orang lain.

Ah... dunia ini semakin mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dan saya merindukan laut yang selalu menyapa pasir pantai [  ].

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun