Beberapa perusahaan dengan prinsip costumer service melayani dengan keramahtamahan artifisial, hanya sebatas kompetensi etis, atau pengejawantahan code of conduct-nya. Perbankan, jawatan transportasi, hotel dan restoran. Keramahtamahan itu tidak lahir dari karakter tapi paksaan budaya perusahaan dengan tujuan jelas, seeking profit, walhasil tidak menemukan the main idea of hospitality.
Petugas bandara di banyak negara Asia sepertinya tidak lagi mengenal kosa kata keramahtamahan. Penumpang selalu dicurigai seakan-akan semuanya adalah pelaku kriminal dan kampungan, sementara mereka memposisikan diri sebagai superior. Padahal sejatinya, gaji mereka diperoleh dari penumpang.
Maka ada distansi antara keramahtamahan sebagai sistem komunal dengan perilaku keseharian. Sebuah dramaturgi relasi rhizomatic a la Deleuze dan Guattari yang kering nilai dan proseduralisme. Dan bagi yang terbiasa dengan paradigma keramahtamahan itu akan selalu menemukan kegersangan makna hidup dan teralienasi dalam gemuruhnya interaksi.
Perbedaan dan Penundaan
Jacques Derrida, filsuf post-strukturalis Prancis, melihat keramahtamahan bukan sebagai nilai tapi sebagai teks. Teks yang bermakna karena kombinasinya dengan yang lain. Keramahtamahan memiliki hubungan referensial tanpa batas. Bukan nilai yang soliter dan terisolir.
Keramahtamahan adalah structure of difference, yang maknanya terkadang mengganti sesuatu yang tidak hadir: sebagai pembeda (to differ) dan sebagai penunda (to defer). Pengucapannya sama tapi penulisannya berbeda. Ini adalah paradoks awal sebuah teks karena kita hanya dapat melacak trace-nya. Implikasinya, keramahtamahan bersisi ganda, makna bergantung dari penggunaannya, meaning in use, yang terikat dengan sesuatu dan sesuatu yang lain.
Sederhananya, dalam keramahtamahan terkandung teks ketulusan, kebaikan, Â citra diri, dramaturgi peran, kematangan emosi, relasi politik, kepentingan ekonomi. Teks ini memproduksi teks lain dan maknanya tanpa batas. Bahkan menjadi penjelas kebalikannya: yang buruk dan yang tidak estetis.
Untuk yang terakhir misalnya pada performance topeng bondres Bali. Dalam enigma wajah buruk secara estetis terselip keramahtamahan dan kebijakan yang menghibur. Makna teks pun bergantung dari perspektif yang melihatnya.
Sebagai pembeda, keramahtamahan merupakan oposisi biner kebencian, keraguan, atau opresi terhadap yang liyan. Sikap ramahtamah menegaskan alteritas tentang yang ramah dari yang lain. Menemukan satu orang yang ramahtamah dalam kepungan teks kebencian laiknya oase di padang pasir.
Sebagai penunda, ada permainan psikis di sana. Keramahtamahan bermakna menunda egoisme, kejengkelan, kemarahan. Semacam "disjungsi subjektif" Lacanian, yaitu keluar dari diri dan memposisikan bersama yang lain. Melayani dengan keramahtamahan adalah menunda kepentingan diri, memberi sedikit kesempatan dialog, atau menjadi good listener.
Jika semua itu tergusur, yang tersisa adalah sekeping realitas sosial tanpa nilai humanisme. Sepi dalam kegaduhan, sendiri dalam keramaian. Dan semua orang lupa dengan hakikatnya sebagai mahluk sosial yang tidak bisa hidup soliter dan membutuhkan orang lain.
Ah... dunia ini semakin mengaburkan nilai-nilai kemanusiaan dan saya merindukan laut yang selalu menyapa pasir pantai [ Â ].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H