Mohon tunggu...
Philipus Dellian Agus Raharjo
Philipus Dellian Agus Raharjo Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang yang ingin menjadi kawan seperjalanan anda.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

GPS vs "GPS"

20 Juni 2016   12:35 Diperbarui: 20 Juni 2016   12:43 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

GPS

Hari-hari puasa sudah satu minggu terlampaui. Masih ada hari-hari puasa berikutnya yang harus dijalani hingga Idul Fitri tiba. Kendati Idul Fitri masih agak jauh, banyak di antara kita yang sudah merencanakan perjalanan ke kampung halaman. Bagi yang sudah tidak punya orangtua ataupun famili yang lebih tua di kampung halaman, mungkin sedang merancang perjalanan ke tempat wisata.

Semenjak kehadiran teknologi komunikasi yang masif dan semakin canggih dalam satu-dua dekade ini, ada perangkat yang hampir selalu kita gunakan untuk memandu perjalanan jauh: GPS (Global Positioning System). Perangkat yang digunakan untuk menentukan posisi (berupa titik koordinat derajat bujur dan derajat lintang), menentukan lokasi, rute perjalanan, memperkirakan jarak tempuh, dan juga untuk melihat daerah mana yang mengalami kemacetan lalu-lintas ini kian mendesak saja kehadirannya dalam kehidupan kita. Oleh karena itu semua produsen gawai selalu menyematkan GPS di dalam produk keluaran terbarunya.

GPS navigator (sumber : http://www.autobild.co.id/read/2014/09/21/11414/63/19/Menguji-Mitsubishi-Pajero-Sport-Dakar-4x2-di-Sumatra)
GPS navigator (sumber : http://www.autobild.co.id/read/2014/09/21/11414/63/19/Menguji-Mitsubishi-Pajero-Sport-Dakar-4x2-di-Sumatra)
Tidak hanya produsen gawai, produsen mobil pun menambahkan GPS navigator pada mobil-mobil keluaran terbaru mereka. Tentu dengan ditambahkannya GPS navigator ini merupakan salah satu cara untuk menarik pembeli.

Kita yang hidup di zaman gawai canggih ini tampaknya kian tergantung pada GPS jika hendak melakukan perjalanan. Kita juga menjadi saksi kehadiran berbagai macam aplikasi peta dalam gawai yang berkelindan dengan perangkat GPS. Karena GPS bekerja menggunakan panduan satelit, maka bisa dikatakan hasilnya cukup akurat untuk menentukan lokasi. Dengan memerhatikan ruas-ruas jalan, tikungan, persimpangan jalan, dan tanda-tanda yang diberikan dalam aplikasi tersebut, kita dapat menemukan lokasi dengan cepat dan akurat. Hanya saja, biasanya yang kurang akurat dalam aplikasi peta adalah pada penamaan suatu objek di dalam peta.

Ambil contoh dalam Google Maps, aplikasi yang mungkin paling sering digunakan untuk mencari letak suatu tempat. Beberapa bulan yang lalu saya mencari sebuah alamat di Kabupaten Semarang, yaitu Jalan Garuda, Ungaran. Saya masukkan nama jalan itu dalam kolom yang tersedia pada Google Maps

Aplikasi tersebut dengan cepat menemukan posisi Jalan Garuda di Ungaran, Kabupaten Semarang. Akan tetapi ketika saya perhatikan tanda-tanda gambar dan nama-nama yang tertera, ada yang menarik perhatian saya. Tidak jauh dari posisi Jalan Garuda terlihat posisi Gereja Girisonta. Posisi Gereja Girisonta yang tampak pada Google Maps tidak tepat karena berada di dalam kota Ungaran. Dalam kenyataan Gereja Girisonta berada di luar kota, kurang lebih 7Km setelah kota Ungaran.

Menariknya aplikasi Google Maps juga menyebutkan Gereja Paroki St. Stanislaus Girisonta dan lokasinya memang tepat berada pada tempat kenyataannya. Bersebelahan dengan bangunan Gereja Paroki St. Stanislaus Kotska Girisonta itu adalah novisiat para calon imam dan bruder Jesuit. Tidak jauh dari novisiat terdapat SD Kanisius Girisonta.

Sementara itu bangunan gereja Katolik yang berada dalam kota Ungaran adalah Gereja Kristus Raja. Namun demikian objek yang dinamai Gereja Girisonta dalam aplikasi Google tersebut itu pun bukan pula Gereja Kristus Raja.

Bukan pertama kali ini saya menemukan kekurangakuratan penamaan objek dalam aplikasi Google Maps. Hal serupa juga dialami oleh teman saya yang mencari lokasi Delman Resto Semarang. Pada saat itu lokasi Delman Resto dalam aplikasi berada di sekitar Jalan Simongan (arah dari Klenteng Sam Poo Kong menyusuri tepian Banjirkanal Barat), sehingga teman saya tersasar sampai ke area perumahan Bukit Wahid Regency Semarang. Syukurlah sekarang sudah dilakukan koreksi oleh Google, sehingga lokasi Delman Resto sudah tepat seperti pada lokasi sebenarnya, yaitu di Jalan Simongan Raya, Ngemplaksimongan, Semarang. Tidak jauh dari Bendungan Plered, Banjirkanal Barat.

Begitulah. Di balik kecanggihan gawai yang kita gunakan sekarang ini pun masih terdapat kekurangan-kekurangan. Ke depan pasti akan dilakukan perbaikan-perbaikan oleh penyedia aplikasi sehingga apa yang ditampilkan sungguh akurat.

“GPS”

Dari GPS sekarang saya ajak Anda beralih ke “GPS”. Anda mungkin akan bertanya ‘Apakah “GPS” itu?’ Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya akan mengisahkan pengalaman saya.

Nenek saya sekarang usianya 90-an. Indera penglihatan, pendengaran, peraba, pembau, dan pengecap nenek saya masih bagus. Hanya saja, kalau untuk berjalan sendiri nenek sudah tidak sanggup. Hal ini karena kecelakaan yang menyebabkan tulang kaki dan persendiannya mengalami gangguan. Oleh karena itu untuk berpindah tempat, nenek harus dipapah ataupun digendong.

Salah satu kegemaran nenek adalah membaca, kendati beliau buta aksara latin. Nenek hanya bisa membaca aksara Jawa. Saya menduga kemampuannya membaca aksara Jawa itu – entah bagaimana kaitannya – berpengaruh pada ingatan dan nalurinya yang tajam.

Nenek saat HUT (dokpri)
Nenek saat HUT (dokpri)
Hal yang masih saya ingat kalau nenek datang ke suatu tempat, misalnya rumah baru, beliau dapat dengan tepat menentukan arah-hadap rumah. Apakah sebuah rumah menghadap ke timur, barat, utara, selatan, tenggara, dan seterusnya, dapat diketahuinya tanpa melihat kompas. Padahal tidak ada yang memberi tahu nenek tentang arah-hadap rumah itu sebelumnya.

Nenek adalah seorang petani yang lahir dan dibesarkan di lereng Merapi, di Boyolali. Berbeda dari kebanyakan petani moderen sekarang, sebagai petani yang hidup lebih dari tiga zaman nenek menggunakan naluri. Saya kira hal sama pun dilakukan oleh petani-petani sepuh yang masih hidup pada saat ini. Petani zaman dulu akrab dengan tanda-tanda alam, tanda-tanda langit. Kapan mulai membajak sawah, kapan bercocok tanam, kapan akan panen, kapan akan mengawinkan ternak, dan sebagainya mereka ketahui dengan melihat posisi rasi bintang.

Nenek bisa dengan mudah menunjukkan rasi bintang gubug penceng atau rasi bintang pari, rasi bintang waluku, dan seterusnya. Sementara saya untuk menemukan bentuk dan lokasi rasi bintang kalajengking atau Scorpio – yang notabene rasi bintang paling besar di belahan langit selatan – saja agak kesulitan.

Karena terbiasa memerhatikan tanda-tanda langit itulah, naluri nenek saya pada arah-hadap suatu bangunan jadi terasah. Bahkan pada tengah hari terik dengan posisi matahari di atas kepala pun nenek bisa menentukan arah-hadap. Tentu lebih mudah menentukan arah-hadap jika tahu di mana posisi matahari terbit dan terbenam.

Pengalaman berikutnya adalah ketika saya berangkat menuju Kepulauan Karimunjawa untuk berlibur. Saya bersama beberapa teman dari Semarang dan dari Filipina berangkat menuju Kepulauan Karimunjawa dari Jepara. Kami menggunakan kapal feri biasa – KMP Muria. Kata orang dengan KMP Muria untuk menuju Kepulauan Karimunjawa dari Jepara diperlukan waktu sekitar 6 jam perjalanan di laut.

Di dalam kapal feri kami bercampur dengan banyak orang dari berbagai asal, berbagai pekerjaan, dan berbagai usia. Untuk menentukan waktu di tengah laut tanpa melihat ponsel – karena saya tidak pernah memakai arloji – sungguh tidak mudah bagi saya karena di tengah-tengah badan air yang demikian luas tidak ada yang bisa saya jadikan patokan, kecuali posisi matahari.

Bersama teman-teman di KMP Muria (dokpri)
Bersama teman-teman di KMP Muria (dokpri)
Di pelabuhan Karimunjawa (dokpri)
Di pelabuhan Karimunjawa (dokpri)
Tidak jauh dari tempat saya duduk ada nenek-nenek dengan setumpuk kardus berisi barang-barang – mungkin barang dagangan – tertidur pulas. Terlihat begitu damai tidurnya. Sebelum beliau tertidur saya sempat berbasa-basi menanyakan apa pekerjaan si nenek. Katanya pekerjaannya sejak muda adalah berdagang. Beliau membawa barang dari Jepara untuk dijual di Karimunjawa.

Jika nenek mengisi perjalanan dengan tidur, saya dan teman-teman hanya bisa menghibur diri dengan bertukar cerita dari yang lucu hingga yang tragis-konyol untuk mengusir kebosanan. Pada waktu itu – di tengah laut – ponsel kami kesulitan mendapat sinyal. Nol.

Di saat kami asyik bertukar cerita, tiba-tiba si nenek bangun dan berkemas-kemas. Saya menanyakan apakah nenek terbangun karena keributan yang kami timbulkan. Jawabnya dalam bahasa Jawa: mboten, tidak. Si nenek berkata bahwa setengah jam lagi akan sampai di pelabuhan Karimunjawa.

Otomatis saya melihat ke jam yang terdapat pada ponsel. Saya ragu pada kata-kata si nenek karena melihat pulau terbesar di Kepulauan Karimunjawa masih jauh. Namun keraguan saya terbantahkan karena ucapan nenek itu terbukti. Dalam setengah jam KMP Muria merapat di pelabuhan Karimunjawa. 

Kalaupun ada selisihnya, tidak banyak, tidak lebih dari lima menit. Dalam hati saya memuji, hebat ini nenek! Saya tidak yakin kalau si nenek di dalam tidurnya menghitung waktu. Saya menduga ini karena kebiasaan bertahun-tahun yang dijalani si nenek melakukan perjalanan bolak-balik Jepara–Karimunjawa, yang akhirnya mengasah naluri beliau akan waktu.

Nenek saya dan si nenek pedagang di Karimunjawa itu tidak memerlukan GPS. Mereka menggunakan naluri untuk membaca situasi sekitar mereka. Saya bisa membayangkan kalau kita yang sekarang ini sangat bergantung pada gawai canggih, bila dilepas di alam tanpa gawai pasti akan kesulitan menentukan arah dan waktu.

Ya, tiap zaman dan penghuninya memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Nenek saya dan mungkin juga nenek Anda tidak memerlukan GPS karena mereka sudah punya “GPS” (Grandma Positioning System).

Demikian yang dapat saya tuturkan dalam tulisan kali ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun