Jika nenek mengisi perjalanan dengan tidur, saya dan teman-teman hanya bisa menghibur diri dengan bertukar cerita dari yang lucu hingga yang tragis-konyol untuk mengusir kebosanan. Pada waktu itu – di tengah laut – ponsel kami kesulitan mendapat sinyal. Nol.
Di saat kami asyik bertukar cerita, tiba-tiba si nenek bangun dan berkemas-kemas. Saya menanyakan apakah nenek terbangun karena keributan yang kami timbulkan. Jawabnya dalam bahasa Jawa: mboten, tidak. Si nenek berkata bahwa setengah jam lagi akan sampai di pelabuhan Karimunjawa.
Otomatis saya melihat ke jam yang terdapat pada ponsel. Saya ragu pada kata-kata si nenek karena melihat pulau terbesar di Kepulauan Karimunjawa masih jauh. Namun keraguan saya terbantahkan karena ucapan nenek itu terbukti. Dalam setengah jam KMP Muria merapat di pelabuhan Karimunjawa.
Kalaupun ada selisihnya, tidak banyak, tidak lebih dari lima menit. Dalam hati saya memuji, hebat ini nenek! Saya tidak yakin kalau si nenek di dalam tidurnya menghitung waktu. Saya menduga ini karena kebiasaan bertahun-tahun yang dijalani si nenek melakukan perjalanan bolak-balik Jepara–Karimunjawa, yang akhirnya mengasah naluri beliau akan waktu.
Nenek saya dan si nenek pedagang di Karimunjawa itu tidak memerlukan GPS. Mereka menggunakan naluri untuk membaca situasi sekitar mereka. Saya bisa membayangkan kalau kita yang sekarang ini sangat bergantung pada gawai canggih, bila dilepas di alam tanpa gawai pasti akan kesulitan menentukan arah dan waktu.
Ya, tiap zaman dan penghuninya memang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Nenek saya dan mungkin juga nenek Anda tidak memerlukan GPS karena mereka sudah punya “GPS” (Grandma Positioning System).
Demikian yang dapat saya tuturkan dalam tulisan kali ini. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H