“GPS”
Dari GPS sekarang saya ajak Anda beralih ke “GPS”. Anda mungkin akan bertanya ‘Apakah “GPS” itu?’ Sebelum saya menjawab pertanyaan Anda, saya akan mengisahkan pengalaman saya.
Nenek saya sekarang usianya 90-an. Indera penglihatan, pendengaran, peraba, pembau, dan pengecap nenek saya masih bagus. Hanya saja, kalau untuk berjalan sendiri nenek sudah tidak sanggup. Hal ini karena kecelakaan yang menyebabkan tulang kaki dan persendiannya mengalami gangguan. Oleh karena itu untuk berpindah tempat, nenek harus dipapah ataupun digendong.
Salah satu kegemaran nenek adalah membaca, kendati beliau buta aksara latin. Nenek hanya bisa membaca aksara Jawa. Saya menduga kemampuannya membaca aksara Jawa itu – entah bagaimana kaitannya – berpengaruh pada ingatan dan nalurinya yang tajam.
Nenek adalah seorang petani yang lahir dan dibesarkan di lereng Merapi, di Boyolali. Berbeda dari kebanyakan petani moderen sekarang, sebagai petani yang hidup lebih dari tiga zaman nenek menggunakan naluri. Saya kira hal sama pun dilakukan oleh petani-petani sepuh yang masih hidup pada saat ini. Petani zaman dulu akrab dengan tanda-tanda alam, tanda-tanda langit. Kapan mulai membajak sawah, kapan bercocok tanam, kapan akan panen, kapan akan mengawinkan ternak, dan sebagainya mereka ketahui dengan melihat posisi rasi bintang.
Nenek bisa dengan mudah menunjukkan rasi bintang gubug penceng atau rasi bintang pari, rasi bintang waluku, dan seterusnya. Sementara saya untuk menemukan bentuk dan lokasi rasi bintang kalajengking atau Scorpio – yang notabene rasi bintang paling besar di belahan langit selatan – saja agak kesulitan.
Karena terbiasa memerhatikan tanda-tanda langit itulah, naluri nenek saya pada arah-hadap suatu bangunan jadi terasah. Bahkan pada tengah hari terik dengan posisi matahari di atas kepala pun nenek bisa menentukan arah-hadap. Tentu lebih mudah menentukan arah-hadap jika tahu di mana posisi matahari terbit dan terbenam.
Pengalaman berikutnya adalah ketika saya berangkat menuju Kepulauan Karimunjawa untuk berlibur. Saya bersama beberapa teman dari Semarang dan dari Filipina berangkat menuju Kepulauan Karimunjawa dari Jepara. Kami menggunakan kapal feri biasa – KMP Muria. Kata orang dengan KMP Muria untuk menuju Kepulauan Karimunjawa dari Jepara diperlukan waktu sekitar 6 jam perjalanan di laut.
Di dalam kapal feri kami bercampur dengan banyak orang dari berbagai asal, berbagai pekerjaan, dan berbagai usia. Untuk menentukan waktu di tengah laut tanpa melihat ponsel – karena saya tidak pernah memakai arloji – sungguh tidak mudah bagi saya karena di tengah-tengah badan air yang demikian luas tidak ada yang bisa saya jadikan patokan, kecuali posisi matahari.