Bila anda mengunjungi Semarang dan melewati kawasan Tugu Muda, anda akan dapat melihat sebuah bangunan gereja. Gereja tersebut adalah gereja katedral yang menjadi jantung kegiatan umat Paroki Randusari dan juga menjadi jantung kegiatan gereja-gereja Keuskupan Agung Semarang karena di gereja inilah terdapat takhta Uskup Agung Semarang. Nama resmi Paroki Randusari Semarang adalah Paroki Katedral Santa Perawan Maria Ratu Rosario Suci Randusari. Orang terbiasa menyebutnya Paroki Randusari atau Paroki Katedral. Lokasi gereja ini di kawasan Tugu Muda, berseberangan langsung dengan Lawang Sewu dan Museum Mandala Bhakti, dan berseberangan tidak langsung dengan Wisma Perdamaian (rumah dinas Gubernur Jawa Tengah). Di banding dengan katedral-katedral lain di Jawa yang dibangun sebelum masa kemerdekaan, bangunan Gereja Katedral Semarang adalah yang paling sederhana. Bangunannya tidak megah dan tidak penuh ornamen seperti Gereja Katedral Jakarta, Katedral Bogor, Katedral Bandung, Katedral Malang, maupun Katedral Surabaya. Namun siapapun yang pernah mengunjunginya akan sepakat kalau bangunan Gereja Katedral Semarang yang menghadap ke barat itu anggun dan memancarkan wibawa. [caption id="attachment_270273" align="aligncenter" width="480" caption="Bagian depan Gereja Katedral Semarang difoto dari arah barat-daya (dok. pribadi)."][/caption] Bangunan gereja katedral dulu dapat dinikmati keanggunannya pada waktu anda berdiri di taman Tugu Muda, atau ketika anda berhenti di jalan sebelah timur Tugu Muda saat lampu merah menyala. Akan tetapi sudah lebih dari setahun ini keanggunan tersebut tidak sepenuhnya dapat dilihat karena videotron yang berada di pos polisi Tugu Muda menghalang-halangi pandangan anda. Anda hanya dapat melihat menara lonceng dan salib merah yang berada di puncak atap gereja. Bila anda memasuki pelataran katedral dan berdiri di depan gedung gereja, anda akan melihat tulisan di atas teras pintu masuk dalam bahasa Latin SUB TUTELA MATRIS. Arti tulisan tersebut adalah Di Bawah Perlindungan Bunda. Kalimat tersebut melambangkan penyerahan diri umat paroki kepada Bunda Maria sebagai pelindung Gereja.
[caption id="attachment_270306" align="aligncenter" width="633" caption="Di Bawah Perlindungan Bunda (sumber foto: Hidup Baru Lebih Baik, Profil Paroki Randusari - Katedral Semarang 2012)."]
Sejarah Singkat
Pada abad XIX Vikariat Apostolik Batavia memiliki 3 paroki, yaitu Paroki Batavia, Paroki Semarang, dan Paroki Surabaya. Vikariat Apostolik (menurut Kitab Hukum Kanonik Kanon 371 § 1) atau prefektur apostolik ialah bagian tertentu umat Allah, yang karena keadaan khusus, belum dibentuk menjadi keuskupan, dan yang reksa pastoralnya diserahkan kepada Vikaris Apostolik atau Prefek apostolik yang memimpinnya atas nama Paus.
Paroki Semarang berkedudukan di Gereja Santo Yosef Gedangan. Pada tanggal 9 Oktober 1927 Vikaris Apostolik Batavia, Mgr. Antonius van Velsen SJ, memberkati gedung gereja yang berlokasi di wilayah Randusari menjadi stasi Randusari. Hal ini tercatat dalam dokumen Chronologish Ovenzicht Missie Van N.O.I. yang disusun oleh A.I. Van Aernsbergen, SJ. Kemudian tanggal 15 Januari 1928 untuk pertama kalinya Stasi Randusari melangsungkan pembaptisan. Sakramen baptis yang dipimpin oleh Pastor J. Hoebrechts, SJ itu diberikan kepada 3 orang, yaitu Philomena Maria, Teresia Trugi, dan Alfredus Datong Poetih. Karena masih berstatus sebagai stasi, maka administrasi pembaptisan masih menjadi bagian dari Paroki Gedangan.
Pada 1 Mei 1930 Stasi Randusari ditetapkan menjadi Paroki Randusari dengan diresmikannya Pengurus Gereja dan Pengurus Dana Papa-Miskin (Het R.K. Kerk en Armbestuur van de Kerk van O.L. Vrouw v.d. Allerheilingsten Rozenkraans). Tahun 1935 gedung bangunan gedung gereja lama dibongkar untuk dibangun gedung yang baru. Arsitek yang ditunjuk adalah J. Th. Van Oyen dan konstruktor atau anemer-nya adalah Kleiverde.
Gedung gereja yang baru selesai dikerjakan tahun 1937. Tanggal 31 Juli 1937 Vikaris Apostolik Batavia yang baru, Mgr. Pieter Jan Willekens, SJ, memberkati gedung gereja baru. Tanggal 25 Juni 1940 Gereja Randusari ditetapkan sebagai gereja uskup, katedral. Uskup pertama yang menempati takhta uskup adalah Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, yang juga adalah uskup pribumi pertama di Indonesia. Adapun Mgr. Soegijapranata atau Romo Kanjeng ditahbiskan menjadi uskup pada 6 November 1940 oleh Mgr. P.J. Willekens, SJ di Gereja Randusari.
Beberapa tahun sebelumnya, tepatnya tanggal 26 Juli 1934 bruder-bruder dari Maastricht memulai karya misinya di Semarang. Bruder-bruder dari Maastricht ini lebih dikenal sebagai para bruder Fratres Mariae Immaculatae Conceptionis (FIC). Mereka mendirikan rumah biara di sebelah selatan gedung gereja katedral.
Gereja Katolik di Indonesia yang mengalami perkembangan pesat mendapat perhatian dari Paus Yohanes XXIII. Dalam Konstitusi Apostolik Quod Christus 3 Januari 1961 Bapa Suci memutuskan Vikariat Apostolik Semarang menjadi Keuskupan Agung Semarang. Surat keputusan Bapa Suci diserahterimakan melalui wakil Paus atau internunsius pada tanggal 15 November 1961. Karena Wisma Uskup Randusari telah selesai dibangun, maka Mgr. Soegijapranata pun menempatinya sejak 20 Agustus 1961.
Mgr. Soegijapranata mengikuti Konsili Vatikan II. Namun di dalam proses konsili, beliau wafat di Belanda. Jenazah Mgr. Soegijapranata, atas perintah Presiden Soekarno, dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan di TMP Giri Tunggal Semarang. Untuk menghargai jasa-jasanya, Presiden Soekarno menganugerahkan pangkat Jenderal Anumerta kepada Mgr. Soegijapranata.
Untuk mengisi kekosongan takhta uskup, maka Romo Justinus Darmajuwana, Pr diangkat menjadi Uskup Agung Semarang. Penahbisan dilakukan pada 6 April 1964. Uskup Agung J. Darmajuwana adalah uskup diosesan pertama di Indonesia dan juga kelak akan menjadi kardinal pertama di Indonesia. Pengangkatan sebagai kardinal oleh Paus Paulus VI berlangsung pada 26 Juni 1967.