Mohon tunggu...
Philipus Dellian Agus Raharjo
Philipus Dellian Agus Raharjo Mohon Tunggu... lainnya -

Seorang yang ingin menjadi kawan seperjalanan anda.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Belajar Aksara Jawa (5)

4 September 2013   17:43 Diperbarui: 4 April 2017   16:32 1863
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para Kompasianer tercinta, apa kabar? Semoga anda dalam keadaan sehat dan berbahagia. Pada tulisan Belajar Aksara Jawa (4) yang lalu saya berjanji akan memberi contoh mengenai penulisan dan penggunaan aksara Jawa dalam kalimat yang lebih kompleks. Saya juga sempat menyinggung sedikit mengenai Aksara Murda (aksara besar). Ada baiknya sebelum kita melihat contoh penulisan dan penggunaan aksara Jawa dalam kalimat, saya perkenalkan dulu tentang aksara murda. Aksara murda digunakan untuk menulis nama gelar, nama diri, nama lokasi geografis, dan nama lembaga/instansi. Aksara murda ditulis hanya satu kali dalam setiap kata. Aksara murda terdiri atas 7 aksara, yaitu na, ka, ta, sa, pa, ga, dan ba. Ada juga kalangan pemerhati aksara Jawa yang menyebut aksara murda terdiri atas 8 aksara, yaitu dengan menambahkan aksara nya ke dalam 7 aksara murda yang saya sebutkan tadi. Bentuk aksara murda adalah sebagai berikut: [caption id="attachment_263643" align="aligncenter" width="504" caption="Aksara murda (aksara besar)."][/caption] Ketujuh aksara murda itu juga memiliki aksara pasangan. Akan tetapi aksara pasangan murda belum akan saya bahas kali ini. Mengapa? Karena masih ada jenis aksara lain yang akan saya perkenalkan, yaitu aksara swara (aksara vokal).

Sesuai namanya aksara swara alias aksara vokal hanya terdiri atas vokal. Jumlah aksara swara ada 5, yaitu a, e, i, o, dan u. Aksara swara digunakan untuk menulis aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari bahasa asing (bukan bahasa Jawa, bukan bahasa Indonesia). Aksara swara tidak mempunyai aksara pasangan, sehingga aksara swara tidak bisa dipakai untuk "mematikan" vokal aksara yang ditulis di depannya. Maka untuk "mematikan"-nya, aksara tersebut harus dirangkai dengan sandhangan pangkon. Nanti anda akan melihat bagaimana cara penulisannya dalam contoh-contoh yang saya berikan. Bentuk kelima aksara swara adalah sebagai berikut:

[caption id="attachment_263644" align="aligncenter" width="496" caption="Aksara swara (aksara vokal)."]

1378286190803641762
1378286190803641762
[/caption]

Nah, sesudah anda mencermati ke-7 aksara murda dan ke-5 aksara swara, mari kita perhatikan contoh penulisan dan penggunaannya dalam kata-kata berikut:

[caption id="attachment_263942" align="aligncenter" width="630" caption="Contoh penggunaan dan penulisan aksara murda dan aksara swara."]

1378379360689240539
1378379360689240539
[/caption] Kata pada baris pertama adalah Nabi Nuh. Di dalam kata Nabi terdapat dua aksara murda, yaitu na dan ba. Akan tetapi yang ditulis menggunakan aksara murda hanya na (ingat, aksara murda hanya muncul/ditulis satu kali dalam setiap kata). Lalu kata berikutnya adalah Nuh, ditulis menggunakan aksara murda na yang dirangkai dengan sandhangan suku (untuk membentuk vokal u) dan wignyan (untuk membentuk bunyi "desah"), sehingga na menjadi nuh.

Contoh di sebelahnya: Kali Krasak. Kali ditulis menggunakan aksara carakan, meskipun anda boleh juga mengganti aksara carakan ka dengan aksara murda ka. Lalu Krasak - karena nama lokasi geografis, ditulis menggunakan aksara murda ka yang dirangkai dengan sandhangan cakra sehingga ka menjadi kra. Aksara sa pada Krasak tidak ditulis menggunakan aksara murda (lagi-lagi, ingat aksara murda hanya ditulis satu kali di dalam setiap kata). Terakhir aksara ka dirangkai dengan sandhangan pangkon untuk "mematikan" vokal a, sehingga ka menjadi k. Jadilah Krasak.

Di baris kedua tertulis: Sultan Ageng Tirtayasa. Pada kata sultan, aksara sa ditulis menggunakan aksara murda. Pada Ageng, a tidak ditulis menggunakan aksara murda karena tidak ada aksara murda a atau ha. Sebagai gantinya, aksara ga ditulis menggunakan aksara murda. Kemudian aksara murda ga dirangkai dengan sandhangan pêpêt (pembentuk bunyi e pepet) dan cêcak (pembentuk bunyi sengau), sehingga ga menjadi geng. Tirtayasa, aksara ta paling depan ditulis menggunakan aksara murda, dirangkai dengan sandhangan wulu (pembentuk bunyi i) dan layar (pembentuk bunyi r, pengganti sigêgan ra), sehingga ta menjadi tir. Ya dan sa ditulis menggunakan aksara carakan biasa. Demikan aturan yang sama berlaku untuk penulisan kata-kata lainnya.

Penulisan aksara swara dapat anda lihat pada kata: Kitab Al Qur'an. Pada kata kitab, aksara ba dirangkai dengan sandhangan pangkon, sehingga bunyi vokal a "dimatikan", ba menjadi b. Kemudian pada kata Al Qur'an muncul aksara swara a (ingat aksara swara tidak dapat dipakai sebagai sigêgan atau tidak boleh dipakai untuk mematikan bunyi vokal huruf di depannya). Karena di dalam aksara Jawa tidak terdapat aksara Q/q, untuk menulis kata Qur'an digunakan aksara carakan ka yang dirangkai dengan sandhangan suku dan layar.

Pada penulisan kata Nabi Idris, terdapat kombinasi penggunaan aksara murda dan aksara swara. Na pada kata Nabi ditulis dengan aksara murda, i pada kata Idris ditulis menggunakan aksara swara i. Meskipun kata Idris mengandung aksara sa dan ada aksara murda sa, penulisannya menggunakan aksara carakan sa, bukan aksara murda sa. Mengapa? Karena aksara murda tidak boleh dirangkai dengan sandhangan pangkon.

Nah, sekarang mari saya sampaikan contoh kalimat bahasa Jawa yang lebih kompleks yang ditulis dalam aksara Jawa. Contoh kalimatnya saya ambilkan dari Serat Wedhatama yang digubah oleh Kanjeng Gusti Adipati Aria (KGPAA) Mangkunegara IV, raja Kadipaten Mangkunegaran (1853 - 1881). Wedhatama berasal dari dua kata, wedha dan utama, ajaran/pengetahuan yang utama. Karya sastra agung ini terdiri dari 4 pupuh utama yang ditulis dalam bentuk Sekar Macapat: Pangkur, Sinom, Pocung, dan Gambuh. Empat pupuh utama terdiri dari 72 bait. Lalu terdapat 2 pupuh tambahan yang ditulis dalam bentuk Sekar Macapat Gambuh dan Kinanthi, terdiri dari 28 bait. Menurut beberapa ahli, 2 pupuh tambahan itu tidak ditulis sendiri oleh KGPAA Mangkunegara IV karena terdapat perbedaan gaya bahasa.

Saya memilih Serat Wedhatama sebagai contoh untuk belajar aksara Jawa karena karya sastra ini memiliki gaya bahasa yang indah. Gaya bahasa yang dipakai di antaranya adalah purwakanthi guru gatra (aliterasi), purwakanthi guru sastra (asonansi), dan purwakanthi basa (tautologi, repetisi). Selain itu isi ajaran yang terkandung sangat mulia dan masih bisa diterapkan dalam kehidupan zaman ini (relevan). Berikut ini pupuh I, bait I Serat Wedhatama dalam aksara Jawa:

[caption id="attachment_263651" align="aligncenter" width="490" caption="Serat Wedhatama, pupuh I, bait I, Sekar Macapat Pangkur."]

13782897692011855968
13782897692011855968
[/caption]

Pupuh I ini ditulis dalam bentuk Sekar Macapat Pangkur. Kata Pangkur tertulis paling atas, di antara dua purwapada. Purwapada adalah aksara berstilir yang terdiri atas dua bagian. Bahasan mengenai purwapada, madyapada, dan wasanapada akan saya sampaikan di lain kesempatan.

Saya tidak menyertakan latinisasi pada gambar teks Serat Wedhatama pupuh I, bait I, di atas dengan maksud agar anda dapat mencoba sendiri membacanya. Namun demikian saya tuliskan terjemahannya secara terpisah, sehingga anda dapat mengira-ngira di mana letak suku kata aksara terjemahan latin pada teks aksara Jawa di atas dan bagaimana perubahan bunyi aksara carakan yang terjadi sesudah mendapat sandhangan dan pasangan.

Terjemahan pupuh I, bait I dalam aksara latin:

Pangkur

Mingkar-mingkur ing angkara, akarana karenan mardi siwi, sinawung resmining kidung, sinuba sinukarta, mrih kretarta pakartining ngelmu luhung, kang tumrap neng tanah Jawa, agama ageming aji.

Dapatkah anda merasakan gaya bahasa yang dipakai oleh KGPAA Mangkunegara IV dalam bait pertama di atas? Mudah-mudahan. Saya tidak akan menjelaskan panjang-lebar mengenai apa maksud atau isi bait I tersebut ke dalam bahasa Indonesia karena anda dapat mencarinya dengan mudah di internet. Memang anda akan menjumpai perbedaan antara penjelasan satu dengan yang lainnya, tergantung dari sudut pandang para penulisnya. Namun perbedaan yang ada itu tidak banyak. Intinya, isi bait I mengajak orang untuk mendidik siswa atau anak agar tidak menjadi jahat, harus menggunakan cara yang benar, indah, dan mulia.

Sampai jumpa di tulisan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun