Apa kabar Kompasianer tercinta? Semoga anda dalam keadaan sehat dan berbahagia. Mari kita lanjutkan pembahasan kita mengenai aksara Jawa. Dalam tulisan yang lalu saya sudah memberi contoh cara penulisan aksara murda dan aksara swara. Lalu sebagai penutupnya saya memberi contoh penulisan aksara Jawa dalam sebuah bait dari Serat Wedhatama (pupuh I, bait I). Saya juga menyebutkan mengenai "judul" pupuh, yaitu Sekar Macapat Pangkur yang diapit oleh purwapada. Kali ini saya akan menyampaikan beberapa hal mengenai purwapada, madyapada, dan wasanapada. Bila anda menulis kalimat biasa dalam satu alinea menggunakan aksara Jawa, umumnya diawali dengan adêg-adêg dan diakhiri dengan pada lungsi. Adêg-adêg berfungsi sebagai pembuka kalimat, sedangkan pada lungsi berfungsi sebagai penutup kalimat atau titik. Nah, purwapada memiliki fungsi yang hampir sama dengan adêg-adêg, hanya saja penggunaannya pada kidung atau tembang. Purwapada mengawali sebuah pupuh, madyapada dituliskan pada awal pupuh-pupuh di antara pupuh awal dan pupuh akhir, wasanapada dituliskan pada akhir pupuh. Beginilah wujud dari purwapada, madyapada, dan wasanapada:
[caption id="attachment_264000" align="aligncenter" width="560" caption="Purwapada, madyapada, dan wasanapada."][/caption]
Jika anda perhatikan, ada titik-titik di antara purwapada, madyapada, dan wasanapada. Pada titik-titik itulah dituliskan "judul" atau menurut sekar macapat manakah bait-bait itu ditembangkan. Sebagaimana saya sampaikan dalam tulisan yang lalu, kata Pangkur ditulis di antara purwapada.
Purwapada, madyapada, dan wasanapada sebenarnya adalah aksara Jawa berstilir atau aksara Jawa yang "digayakan". Yang membedakan bentuk ketiganya adalah aksara-aksara yang diapit oleh aksara berstilir mangajapa. Pada purwapada, aksara yang diapit adalah aksara carakan ba dan aksara pasangan ca. Pada madyapada, aksara yang diapit adalah aksara murda na dan aksara pasangan da yang dirangkai dengan sandhangan cakra. Terakhir pada wasanapada, aksara yang diapit adalah aksara swara i. Untuk lebih jelasnya mari kita lihat gambar berikut:
[caption id="attachment_264005" align="aligncenter" width="490" caption="Bagian I purwapada."]
Sekarang perhatikan bagian yang diapit oleh mangajapa dalam madyapada pada gambar berikut:
[caption id="attachment_264013" align="aligncenter" width="490" caption="Bagian dari madyapada."]
Bagian yang diapit mangajapa dalam madyapada adalah aksara murda na dan aksara pasangan da yang dirangkai dengan sandhangan cakra. Bagian ini dibaca ndra, kependekan dari mandrawa. Mandrawa berarti "jauh". Maksudnya, bait yang ditembangkan itu belum akan selesai, masih ada bait-bait berikutnya.
Sebagai penutup pupuh digunakan wasanapada. Aksara yang diapit mangajapa dalam wasanapada adalah aksara swara i:
[caption id="attachment_264015" align="aligncenter" width="490" caption="Bagian dari wasanapada."]
Sebagai contoh penulisan madyapada saya berikan Serat Wedhatama pupuh II, bait XV yang irama tembangnya Sekar Macapat Sinom:
[caption id="attachment_264016" align="aligncenter" width="490" caption="Serat Wedhatama pupuh II Sinom, bait XV."]
Coba perhatikan aksara ndra yang diapit oleh mangajapa dan pada lungsi di akhir bait. Berarti Serat Wedhatama belum berakhir pada bait ini. Latinisasi aksara Jawa di atas sebagai berikut:
Sinom
Nuladha laku utama tumraping wong tanah Jawi Wong Agung ing Ngèksiganda Panembahan Senapati kapati amarsudi sudaning hawa lan nepsu pinesu tapabrata tanapi ing siyang-ratri amemangun karyénak tyasing sasama.
Bait di atas sangat popular di antara orang-orang Jawa yang gemar macapatan (menyanyikan tembang macapat). Wong Agung Ngèksiganda yang dimaksud adalah Danang Sutawijaya alias Panembahan Senapati pendiri Kerajaan Mataram. Ngèksi, dari ang+kèksi, tampak jelas (dengan mata); ganda, arum/harum, mata-arum, mataram. Inti dari bait di atas adalah Panembahan Senapati menjadi teladan bagi orang-orang Jawa dalam hal asketisme.
Pupuh III, bait XXXIII ditembangkan dengan irama Sekar Macapat Pocung:
[caption id="attachment_264018" align="aligncenter" width="521" caption="Serat Wedhatama pupuh III Pocung, bait XXXIII."]
Terlihat pada yang digunakan masih madyapada dan pada lungsi. Jadi bait ini pun belum menjadi akhir Serat Wedhatama. Latinisasinya:
Pocung
Ngèlmu iku kalakoné kanthi laku lekasé lawan kas tegesé kas nyantosani setya budya pangekesé dur angkara.
Inti bait tersebut: ngèlmu atau ilmu-sejati hanya dapat dicapai melalui laku prihatin yang sungguh-sungguh. Ilmu-sejati akan menjadikan orang semakin rendah hati dan jauh dari sifat angkara murka. Jadi kalau orang berilmu tetapi bersikap arogan dan penuh angkara murka, orang itu belum mencapai tataran tertinggi.
Sekarang mari kita melompat ke pupuh IV, bait LXXII yang ditembangkan dengan irama Sekar Macapat Gambuh:
[caption id="attachment_264022" align="aligncenter" width="512" caption="Serat Wedhatama pupuh IV Pocung, bait LXXII."]
Pada bait LXXII (ke-72), anda dapat melihat wasanapada, yaitu mangajapa yang mengapit aksara swara i di akhir bait. Dengan demikian Serat Wedhatama telah selesai. Meskipun demikian, sebagaimana saya sampaikan kemarin, masih ada 28 bait tambahan yang kemungkinan tidak ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV.
Latinisasinya:
Gambuh
Meloké ujar iku yèn wus ilang sumelanging kalbu amung kandel-kumandel marang ing takdir iku dèn awas dèn èmut dèn mèmèt yèn arsa momot.
Intinya: orang yang sudah mencapai ilmu-sejati, tidak akan khawatir karena sudah menyerahkan seluruh hidupnya kepada Allah SWT dan mengandalkan Dia satu-satunya dalam setiap pikiran, perkataan, dan perbuatan.
Nah, anda sudah mengenal purwapada, madyapada, dan wasanapada, juga bagaimana penggunaan dan penulisannya. Masih ada beberapa hal lain berkaitan dengan aksara Jawa yang akan saya sampaikan dalam tulisan berikutnya. Terima kasih, anda sudah meluangkan waktu untuk membaca. Sampai bertemu di tulisan mendatang!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H