Awalnya, banyak orang Jerman memakai minuman itu untuk mengencerkan sup. Meski begitu, Ketih berhasil membuat produk yang bisa dijual agar pabrik-pabriknya tetap beroperasi.
Ia tidak sempat memikirkan nama produk sementara tersebut. Maka, ia berpesan kepada para salesman-nya untuk memakai imajinasi (Jerman: fantasie) mereka. Lucunya, itu justru menjadi nama produk tersebut, yang akhirnya disingkat menjadi Fanta.
Keberuntungan memihak kreativitas. Waktu produksi minuman CocaCola benar-benar terhenti akibat kehabisan bahan baku tahun 1943, minuman Fanta justru terjual 3 juta krat per tahun. Dua tahun kemudian Nazi Jerman runtuh.
Ketika pasukan Sekutu menemukannya, Keith langsung meminta bantuan untuk mengirim telegraf ke kantor pusat CocaCola di Amerika. Ia mengirim pesan bahwa CocaCola Gmbh. masih dapat melanjutkan operasi. Segera, sepasukan ahli dikirim untuk memulihkan semua pabrik CocaCola di Eropa.
Resep Fanta terus mengalami pengembangan. Di Indonesia kita mengenalnya sebagai minuman perona lidah berasa stroberi. Di kota-kota tertentu, minuman tersebut wajib disediakan oleh tuan rumah pada hari-hari raya. Semua berkat seorang direktur yang bersikeras terus membuat minuman asing di negara fasis Hitler.
Apakah Anda suka meneguk Fanta? Ich bin ein Fantaner.
(1) John F. Kennedy Presidential Library and Museum, Boston, Massachusetts.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H