Katniss Everdeen melenggang ke dalam arena Hunger Games ke-74---sebuah aksi heroik guna menyelamatkan adiknya, Prim. Alih-alih bersuit atau bertepuk tangan menyemangati jagoannya, penduduk Distrik 12 mengacungkan "tiga jari". Bila Anda mengalami momen lost in translation, Katniss menjelaskan bahwa gestur tersebut biasanya ditunjukkan pada acara pemakaman. "It means thanks, it means admiration, it means goodbye to someone you love."(1)
Meski terkesan inovatif, salut "tiga jari" tersebut sesungguhnya tidak orisinal. Anak-anak pramuka (scouts) di Amerika telah lama memakai gestur tersebut ketika mengucap sumpah. Artinya berubah ketika itu diadopsi oleh waralaba Hunger Games. Mutasi kembali terjadi ketika simbol tersebut ramai-ramai dipakai oleh rakyat Thailand, Hongkong, dan Myanmar ketika memprotes tiran di negeri mereka. Lambang solidaritas itu kini menjadi simbol pembangkangan.
Pemilihan umum selalu menawarkan banyak perspektif yang menarik untuk dikaji. Tiap kali pilpres, pileg, maupun pilkada akan digelar di negeri ini, spanduk-spanduk dan baliho-baliho kontestan politik pasti tayang di mana-mana. Bila dicermati, masing-masing capres, caleg, atau cakada itu menunjukkan gestur-gestur tangan tertentu. Beberapa di antaranya cukup lumrah seperti simbol "V", satu jempol (kadang dua), tangan terkepal di udara, salam komando, OK!, bersedekap, lipat tangan di depan dada, atau lengan diselempangkan ke bahu. Gestur-gestur lainnya tampak canggung: sedekap di depan dada, sedekap di bawah pusar ala tendangan bebas, salam metal!, menggulung lengan baju dan memamerkan jam tangan, satu jari di udara, lima jari di udara, atau hormat grak ala tentara. Gestur paling umum, berdasarkan survei amatiran saya, masih apa yang saya sebut "salam pramugari", yaitu mengatupkan dua telapak tangan di depan dada. Beragamnya simbol-simbol tangan itu mengindikasikan bahwa layar dua dimensi di pinggir-pinggir jalan telah menjadi arena hunger games untuk berebut kekuasaan.
Holler dan Beatie, para pakar perilaku komunikasi, membuktikan bahwa gestur tubuh meningkatkan nilai dari pesan lisan yang disampaikan sampai 60% (2007). Itu diperkuat dengan temuan Vanessa van Edwards, yang menganalisis ribuan video pembicara TED Talk. Para pembicara yang populer dan viral ternyata menggunakan 70% lebih banyak gestur tangan daripada pembicara yang biasa-biasa saja. Dengan kata lain, The more hand gestures, the more successful the Talk.(2) Menonton wawancara maraton Mbak Najwa dengan para bacapres beberapa waktu silam, kita dapat menilai siapa yang paling efektif memenangkan hati dan pikiran pemirsa.
Kita hanya bisa menduga apa gerangan motif para bintang iklan baliho tersebut ketika mereka memeragakan formasi-formasi tangan tertentu. Bisa jadi mereka memang mengerti prinsip-prinsip komunikasi nonverbal. Ada pesan tertentu yang sengaja mereka sosialisasikan melalui tangannya. Lagi pula, calon yang kebetulan aphasia akan diuntungkan lewat media visual. Elena Nicoladis, peneliti di University of Alberta, mengungkapkan, "People who have trouble finding the right words are more likely to speak with their hands." Atau, bisa saja karena mereka sebenarnya "mati gaya". Gladiator politik, yang tidak biasa bergaya di depan kamera itu, tiba-tiba diminta untuk berpose. Apa boleh buat, daripada hasilnya cuma pas foto, ia melakukan sesuatu dengan tangannya yang kaku.
Entah disengaja atau "kecelakaan" semata, gestur tangan mewakili pesan nonverbal. Dus, itu adalah ekstensi dari bahasa verbal. Lihatlah orang-orang Italia: tangan mereka berbicara! Gerak-gerik ditangkap oleh mata, lalu naik ke otak atau turun ke hati. Pada gilirannya, itu menciptakan pemahaman dan memengaruhi pengambilan keputusan. Masalahnya, makna dari sebuah gestur tangan bisa berbeda dalam ruang dan waktu yang berbeda. Akibatnya, pesan yang disampaikan mungkin diterima dengan baik, mungkin pula terdistorsi.
Gestur "V", misalnya, populer sejak Perang Vietnam oleh para demonstran hippies antiperang di Amerika Serikat. Simbol dua jari itu melambangkan perdamaian, sebagaimana yang sering diserukan Kaka "Slank": Piss! Jauh hari sebelumnya, pada masa Perang Dunia II, gestur yang sama mewakili inisial "Victory". Itu merepresentasikan semangat dan keyakinan sekutu menang melawan Nazi Jerman. Sempat terjadi insiden ketika Churchill, perdana menteri Inggris ketika itu, memeragakan simbol tersebut secara terbalik: telapak tangannya menghadap ke dalam. Di negaranya dan di Australia, itu sama seperti mengacungkan jari tengah.(3)
Maka, ketika seorang capres, caleg, atau cakada memamerkan simbol dua jari dalam iklan-iklan kampanyenya, itu hanya berarti satu dari tiga hal ini: nomor urutnya adalah "2", atau "I come in peace", atau ia pasti akan menang dalam pemungutan suara.
Simbol "jempol", dengan satu atau dua tangan, lazimnya melambangkan persetujuan di Amerika Serikat. Beda ceritanya di Iran atau Yunani; jempol justru melambangkan ketidaksetujuan. Beda lagi kalau kita hidup di zaman Kekaisaran Romawi, jempol adalah "kehidupan". Nasib gladiator yang kalah duel ditentukan oleh posisi jempol Kaisar yang menonton: ke atas berarti "Biarkan dia hidup!"; ke bawah berarti "Matikan pecundang itu segera!" Di dalam budaya kita sendiri, selain menyatakan persetujuan, jempol ke atas bisa juga berarti "bagus". Masih ingat kan station ID lawas RCTI di tengah sawah, di rumah Minangkabau, atau di pasar perahu itu? "RCTI oke" sama dengan RCTI bageur, rancak, bungas. Jadi, bila para caleg mengangkat jempolnya di spanduk-spanduk mereka, mereka sebenarnya mencoba meniru slogan Ariel Peterpan: Kalian luar biasa!
Lambang Metal-- bukan akronim "Merawat Total"-- berawal dari simbol "devil horns" pada masa kejayaan black metal di Amerika Serikat. Telunjuk dan kelingking ke atas; jari tengah dan manis mencium jempol. Para fans memuja dewa rock mereka dengan mengangkat formasi jari tersebut. Wabah Covid-19 memodifikasinya menjadi "I love U".(4) Kepala daerah atau caleg tertentu di Indonesia gemar memeragakannya sedikit miring di depan dada. Dalam pikirannya, "Lihat nih, gue suka musik metal. Artinya, gue orangnya gaul. Ayo guys, pilih gue." Anak kecil di dalam angkot menyeletuk, "Ayah, om itu masih suka main pesawat-pesawatan ya."
Pelajaran yang didapat adalah waspada bias komunikasi. Calon pemilih bisa saja menangkap pesan yang berbeda dengan yang ada di kepala sang capres, caleg, atau cakada. Tangan terkepal di udara: "Sekarang sudah 17 Agustus lagi ya?" Salam komando: "Army wannabe." Jempol dan telunjuk membentuk lingkaran: "Nilainya nol." Lingkarannya di depan mata: "Antek-antek Iluminati." Tangan bersedekap: "Dia menutupi perutnya yang buncit." Lipat tangan di depan dada: "Dia suka berpangku tangan atau menyepelekan segalanya." Lengan diselempangkan ke bahu: "Mantan pegawai Indomaret." Hormat grak: "Militer kembali memimpin sipil." Bias-bias semacam itu tentu menghasilkan pengambilan keputusan yang "jauh panggang dari api".
Tujuan pemilihan umum cuma satu: mencari birokrat yang ahli mengambil keputusan. Tangan mereka nantinya akan dipakai untuk membubuhkan tanda tangan, merevisi rancangan undang-undang, menginterupsi ketua rapat, menjabat tangan investor, dan masih banyak lagi. Jangan sampai rakyat tertipu, memilih pengambil keputusan yang tidak becus.
Di dalam bukunya, The History of Java, Thomas Stamford Raffles mengutip laporan Hogendorp, orang Belanda yang tinggal di Jawa sebelum masuknya Inggris. Katanya, raja-raja daerah (atau bupati) di sana umumnya adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa dan tidak bisa apa-apa. Mereka cuma mengisap darah kehidupan rakyat sebanyak-banyaknya demi kenikmatan mereka atau atasan mereka. Laporan tersebut acap terulang sejak zaman Reformasi. Para bintang baliho yang kerap menampilkan gestur-gestur rendah hati mendekati level babu sebelum pemungutan suara, nantinya menjadi raja-raja daerah yang buas tak tahu diuntung. Kepada oknum-oknum demikian, bolehkah kita mengacungkan jari tengah?
Jangan cepat menghakimi, Bung. Ingat lagu Sekolah Minggu yang bena ini: "Hati-hati gunakan tanganmu / Karena Bapa di surga s'lalu lihat ke bawah / hati-hati gunakan tanganmu." Itu lebih benar lagi setelah kita menyadari bahwa tangan berbicara. Itu membuka dan menutup untuk mengutarakan gagasan di kepala kita.
Apakah tangan Anda masih membuka dan menutup? Jalal-ud-din Rumi, sufi penyair itu pernah berkata, "Tangan kita senantiasa membuka dan menutup. Seandainya tanganmu selalu mengepal atau terbuka lebar, itu berarti engkau cacat. Bahkan dalam hal-hal kecil, kehadiran kita selalu mengerut dan memuai. Keduanya seimbang secara indah dan bekerja sama layaknya dua sayap burung."(5)
(1) Para penggemar Hunger Games kumpul di sini: https://thehungergames.fandom.com/wiki/Three_Finger_Salute.
(2) Intinya, Mbak Vanessa nan rupawan bilang bahwa para pembicara TED Talk "pecundang", yang rata-rata cuma ditonton 124 ribu orang, menampilkan 272 gestur tangan selama 18 menit. Sedangkan, para pembicara fenomenal, yang mengantongi view 7 jutaan menggunakan rata-rata 465 gestur tangan! Baca https://www.scienceofpeople.com/secrets-of-a-successful-ted-talk.
(4) https://englishlive.ef.com/blog/english-in-the-real-world/hand-gestures.
(5) Ada banyak sumber rujukan atas kutipan ini. Saya mengambilnya dari https://www.goodreads.com/quotes/9465492-your-hand-opens-and-closes-and-opens-and-closes-if.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H