Kalau mau jujur, bangsa kita masih ambivalen dalam menanggapi isu rokok. Benci tapi perlu, suka tapi jengkel. Kegamangan ini adalah buah dari ketegangan pro dan kontra terhadap rokok.
Di sisi yang satu berdiri kubu pro-kesehatan. Mereka berkeyakinan bahwa rokok adalah racun masyarakat. Empat ribu lebih senyawa kimia dalam sebatang rokok cukup untuk menimbulkan kerusakan otak dan sel-sel tubuh lain tanpa bisa diperbaiki. Bahayanya tidak cukup dijelaskan dengan kata-kata sehingga cukup dirangkum dalam satu kalimat peringatan: "Merokok membunuhmu."
Di sisi yang lain adalah kubu pro-ekonomi. Menurut mereka, industri rokok harus dipertahankan demi kontribusinya yang amat besar bagi perekonomian, secara makro maupun mikro. Pada tahun 2018 saja, cukai rokok menyumbang Rp 153 triliun ke kas negara. Iuran ini telah diaplikasikan ke dalam berbagai program pemerintah untuk mensejahterakan rakyat.
Seperti kisah Daud melawan Goliat, kubu pro-ekonomi tampak jauh lebih kuat. Kampanye anti-rokok selama puluhan tahun seakan tak berdaya menumbangkan raksasa-raksasa perusahaan rokok. Dan, perjuangan itu sepertinya semakin berat bila rakyat justru mempromosikan produk rokok.
Itu saya ketahui dari pengalaman saya waktu bekerja di Nias.
Tahun 2010 saya diutus perusahaan untuk mengepalai operasi marketing di pulau tersebut, dan seluruh wilayah yang dulunya disebut keresidenan Tapanuli. Tugas saya: meracuni generasi muda dengan rokok. (Saya tidak bangga dengan masa lalu ini.)
Suatu kali di kantor cabang tersebut diadakan sebuah acara syukuran dalam rangka launching produk baru. Tim Nias berinisiatif merekam sebuah video yel-yel untuk menunjukkan ke kantor pusat semangat mereka dalam mensukseskan launching tersebut. Di dalam video pendek tersebut mereka menyanyikan sebuah lagu daerah sambil membawakan tari Maena.
Berikut adalah lirik lagunya.
Mi fo lala sa laoda
(Silakan mempelai laki-laki)