Ini membuat kita bertanya. Dalam visi "Lompatan Kemajuan" pak Jokowi, apakah yang bersedia dikorbankannya? Kalau rantai birokrasi, itu bagus. Kalau hak politik pengusung khilafah, itu bagus. Kalau peleburan kementerian tertentu, silakan saja.
Apa kata Presiden?
"Tidak ada jalan lain bagi kita semua, selain meninggalkan cara-cara lama dan beradaptasi dengan cara-cara baru . . . Undang-undang yang menyulitkan rakyat harus kita bongkar. Undang-undang yang menghambat lompatan kemajuan harus kita ubah," demikian amanat beliau.
Presiden tampaknya hendak menggunakan "Pisau Ockham" (Ockham Razor) terhadap undang-undang. Saya kurang setuju.
Yang menjadi masalah di negeri ini adalah oknum pelaksananya, bukan aturannya. Mentalitas inlander masih kuat bercokol di alam bawah sadar rakyat. Kita memiliki banyak pilar SOP yang jelas, tetapi oknum-oknum di jajaran pemerintahan membengkokkannya.
Barusan saya membaca sebuah artikel dari Kompasianer Felix Tani. Bung Felix memberitakan "Tragedi Sigapiton" dimana sekelompok masyarakat kehilangan tanah adatnya demi pembangunan kawasan wisata Danau Toba. Warga Batak Sigapiton akan terasingkan dari kultur aslinya.
Ironi lama terulang kembali, dimana orang kaya menikmati wisata elit, sedangkan, penduduk setempat hanya menonton dari luar garis.Â
Saya percaya, bukan itu yang dikehendaki Pak Jokowi. Namun, faktanya itu sudah terjadi.Â
Siapa yang bersalah? Namanya masih tersembunyi dalam Kitab di zaman akhir.
Apa yang Terlompati dalam Pidato Presiden
Saya mengamati, pemberantasan korupsi merupakan menjadi tumit Achiles dalam pidato beliau kali ini. Lemah, karena belum ada terobosan yang fenomenal.