Para ahli telah lama mengetahui bahwa zat-zat fitokimia seperti itu merangsang enzim pelindung tubuh untuk mencegah proliferasi sel. Bawang putih, ekinasea, kunyit, teh hijau, ginseng, kulit manggis mengandung zat-zat tersebut. Namun, kandungan pada akar bajakah lebih tinggi dan lebih lengkap.
Termotivasi atas hasil itu, para remaja SMU itu pun mengolahnya supaya mudah dikonsumsi. Idenya simpel. Bubuk akar bajakah akan dikonsumsi seperti teh.Â
Caranya? Akar yang telah dijemur ditumbuk lalu digiling sampai halus. Takaran yang dianjurkan 1 gram bubuk dicampur dengan setengah liter air. Super-irit.
Bak ilmuwan perusahaan farmasi profesional, mereka kemudian mengadakan uji coba pada tikus. Hasilnya menggembirakan. Setelah terapi selama dua minggu, sel tumor pada tikus percobaan memudar, dari positif menjadi nol sentimeter.
Hasil penelitian ini mereka ikutkan dalam lomba karya ilmiah Youth National Science Fair 2019 (YNSF) di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.Â
Tidak disangka, menang.
Berbekal kemenangan di Bandung, temuan itu sekali lagi dibawa pada ajang World Invention Creativity Olympic (WICO) di Seoul, Korea Selatan. Di sanalah obat kanker mereka diperkenalkan kepada dunia dan diumumkan sebagai juara.
Sekarang, kita tinggal menunggu kapan obat tersebut bisa diproduksi massal. Semoga harganya tidak semahal obat-obat untuk terapi kanker saat ini. Kita berharap pemerintah turut mengawal dari hak cipta hingga fabrikasinya.
Sebenarnya, masih banyak lagi tanaman herbal Indonesia yang berpotensi menjadi obat kanker. Kompas pernah memberitakan (2009) bahwa Prof. Ciptadi dan rekan-rekan di Universitas Palangka Raya sedang meneliti puluhan tanaman tradisional dari Kalteng.Â
Beberapa terbukti mengandung senyawa-senyawa anti-kanker. Tanaman Saluang Belum misalnya, berdasarkan uji fitokimia, kaya dengan steroid dan flavonoid.
Selamat kepada Aysa dan Anggina.