Biasanya saya tidak peduli dengan urusan politik belakangan ini. Ribut, tidak produktif, munafik, egois, dan mempermalukan bangsa sendiri.Â
Pun, ketika politisi memelintir-melintir ayat-ayat Kitab Sucinya demi memuluskan ambisinya, saya tidak ambil pusing. Persoalan agama adalah hal yang sensitif di negeri ini.Â
Namun, ketika seorang politikus berani mengutip ayat Alkitab secara sembarangan, saya tidak bisa tetap berdiam diri. Terlebih, bila ia berasal dari kalangan sendiri.Â
Sebutlah berita yang ramai dibicarakan beberapa hari ini. Tentang Arief Poyuono yang menyerukan penolakan untuk membayar pajak kepada negara.
Sederhananya, mengajak rakyat untuk menolak membayar pajak merupakan sebuah pelanggaran hukum. Mengintimidasi atau membujuk orang-orang melawan pemerintah yang sah merupakan salah satu aspek dari definisi "makar".
Namun, fokus saya bukan itu. Yang memaksa saya turun gunung adalah alasan Poyuono yang menyerempet isi Alkitab. Ia berani memelintir firman sang Raja Damai. Lancang nian!
Poyuono mengutip dari Injil Matius pasal 22 yang diyakininya memuat pembenaran untuk mangkir dari pajak.Â
Di dalam perikop "Tentang Membayar Pajak kepada Kaisar", suatu kali Tuhan Yesus dicobai oleh orang-orang Farisi (ahli-ahli agama). Mereka bertanya, "Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar Romawi atau tidak?" (ay. 17).
Perlu diketahui, pada waktu pertanyaan ini dilontarkan, orang-orang Yahudi sedang dijajah oleh Romawi. Mereka dipaksa membayar pajak kepada Kaisar.
Pertanyaan Farisi tersebut dirancang untuk membunuh karakter Yesus. Jika dijawab "Boleh," maka Yesus kehilangan kredibilitasnya sebagai guru agama. Masakan seorang guru agama mendukung pemerintah kolonial?Â
Namun, jika dijawab "Tidak boleh," apalagi di depan umum, Ia akan segera ditangkap pemerintah karena menghasut rakyat. (Resiko yang sama menanti Poyuono).