Mohon tunggu...
Philip Manurung
Philip Manurung Mohon Tunggu... Dosen - Pengajar

lahir di Medan, belajar ke Jawa, melayani Sulawesi, mendidik Sumatera; orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jejak Emansipasi Wanita dalam Narasi Kebangkitan

22 April 2019   16:22 Diperbarui: 22 April 2019   17:41 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber https://theprayinglife.com 

Setiap tahun, orang-orang Kristen merayakan Kebangkitan Yesus Kristus. Selalu jatuh pada hari Minggu, hari raya ini tidak dapat dipisahkan dari peringatan Jumat Agung beberapa hari sebelumnya.

Secara pribadi, saya selalu menganggap penyebutan hari Kebangkitan sebagai "Paskah" merupakan suatu kekeliruan. Sebab, secara historis, Paskah merupakan hari penyembelihan domba yang secara langsung adalah simbolisasi dari Jumat Agung.

Dalam konteks Indonesia, hari Kebangkitan tahun ini spesial karena bertepatan dengan peringatan hari Kartini, yang lahir pada 21 April 1879. Nama Kartini identik dengan perjuangan emansipasi wanita.

Emansipasi yang Diperjuangkan Kartini

Perjuangan Kartini acap disebut "emansipasi" alih-alih "feminisme". Dalam banyak hal, ini patut disyukuri.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan "emansipasi" sebagai "pembebasan dari perbudakan" atau "persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat". Sumber yang sama menyebut bahwa "emansipasi wanita" merupakan suatu "proses pelepasan diri para wanita dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah atau dari pengekangan hukum yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju." 

Istilah ini mengingatkan kita kepada Proklamasi Emansipasi (Emancipation Proclamation) yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863. Sejak terbitnya Proklamasi tersebut, semua yang berstatus budak dalam negara-negara bagian Amerika Serikat seketika merdeka dari tuannya.

Sensasi dan orientasi ini sedikit berbeda dengan feminisme. Advokasi kaum feminis didasarkan pada premis kesetaraan gender, dimana hak-hak laki-laki dan perempuan adalah setara. Secara biologis, ini tidak mungkin. Laki-laki tidak akan pernah memperoleh hak cuti hamil seperti perempuan.

Belakangan, kaum feminis liberal memperjuangkan dua kesetaraan: kesetaraan kesempatan (equality of opportunity) dan kesetaraan hasil (equality of outcome). Mereka mempermasalahkan, misalnya, mengapa kurang dari 1% wanita di dunia menempati posisi dirut (CEO) di perusahaan-perusahaan bonafid. Sekalipun akses menuju puncak telah terbuka, tetapi hukum "survival of the fittest" secara alami menghasilkan ketidaksetaraan.

Ketika membaca kumpulan surat-surat Kartini, kesan perjuangan emansipasi itulah yang didapat. Besar dalam lingkungan feodal yang mapan, Kartini tidak terlahir sebagai budak. Namun, sebagai perempuan, ia terkekang seperti budak. Kondisi ini bukan sesuatu yang baru di dunia. Kenyataannya, itu telah berlaku secara universal sejak abad pertama.

Emansipasi Yudisial dalam Peristiwa Kebangkitan

Dalam peradaban Timur Dekat Kuno abad pertama, secara umum kaum perempuan menempati posisi yang sangat rendah dalam hierarki sosial. Mereka dianggap warganegara kelas kesekian. Tidak terkecuali dalam masyarakat Yahudi.

 Ada banyak anekdot atau ajaran yang mendiskreditkan perempuan. Terkait pendidikan agama, misalnya, dikatakan, "Lebih baik hukum Taurat dibakar daripada diberikan kepada perempuan". Terkait keunggulan anak laki-laki, diajarkan doa, "Diberkatilah dia yang memiliki anak laki-laki; celakalah bila anaknya perempuan."

Dalam ranah hukum, kesaksian dari seorang perempuan tidak diterima. Perkataan kaum perempuan dianggap tidak berotoritas sehingga tidak diizinkan menjadi saksi di pengadilan.

Maka, menemukan sejumlah nama perempuan di dalam narasi Kebangkitan dirasa ganjil. Tidak kurang Maria Magdalena, Maria ibu Yesus, Yohana, Susana, dan Salome disebut oleh kitab-kitab Injil sebagai saksi-saksi atas Kebangkitan Kristus. Merekalah yang pertama-tama menemukan bahwa makam Yesus menganga dan kosong.

Dengan mencatut nama-nama mereka, para penulis Injil mengambil resiko yang besar. Bisa saja orang-orang membaca laporan mereka dengan skeptis, sebab mereka tidak memercayai kesaksian kaum Hawa. Dengan demikian, laporan mereka dianggap hoaks.

Namun, Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes tetap berkata apa adanya. Mereka setia kepada fakta dan tidak berusaha memoles kebenaran. 

Kepada orang-orang Kristen diajarkan bahwa kaum perempuan memiliki hak untuk bersaksi. Pemuliaan ini selaras dengan sejumlah perlakuan Yesus terhadap kaum perempuan. Ia pernah melepaskan seorang perempuan dari aksi persekusi; Ia menyembuhkan Maria Magdalena dari kerasukan tujuh setan; Ia menghidupkan kembali anak semata wayang seorang janda.

Tidak mengherankan bahwa banyak perempuan kemudian terlibat dalam administrasi dan kepemimpinan gereja mula-mula. Ada Apfia di Kolose, Priskila di Asia Kecil, Lidia, pedagang kain ungu dari Tiatira, Nimfa di Laodikia. Mereka diberikan kesempatan yang sama untuk memimpin dan melayani jemaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun