Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, kita sekarang dapat memeriksa, apakah Yesus benar-benar mati 2.000 tahun yang lalu.
1. Penderitaan dimulai sejak di taman Getsemani
Keempat kitab Injil (Matius, Markus, Lukas, Yohanes) menceritakan bahwa sebelum ditangkap, Yesus berdoa semalaman di taman Getsemani. Tampaknya, Ia berdoa dengan sangat gelisah. Begitu gelisah sehingga Lukas, sang tabib, menulis bahwa ketika itu Yesus berkeringat darah. Secara medis, Ia mengalami hematidrosis, kondisi dimana pembuluh darah halus pecah akibat stres dan kegelisahan yang ekstrem.
2. Dihajar selama proses interogasi
Ratusan orang yang menangkap Yesus kemudian membawanya ke pengadilan agama Yahudi. Di situ Ia diinterogasi oleh Imam Besar, ketua dari para imam setempat. Ini adalah pengadilan settingan, dilakukan pada tengah malam, dengan menghadirkan saksi-saksi palsu, tanpa pengacara.
Mencari muka, orang-orang yang menjagai Yesus mengolok-olok Dia dan memukuli-Nya (Lukas 22:63). Beberapa meludahi-Nya, menutup mata-Nya, dan meninju Dia (Markus 14:65).
Secara agama Yesus telah dijatuhi hukuman mati, tetapi orang-orang Yahudi tidak boleh mengeksekusi-Nya karena terbentur aturan pemerintah kolonial Romawi. Maka, Yesus dilemparkan ke dalam lubang penjara sampai matahari terbit.
3. Disesah
Ketika fajar menyingsing, Yesus dibawa untuk diadili pemerintah Romawi. Pilatus, gubernur kolonial ketika itu, menyuruh tentaranya menyesah Dia (Yohanes 19:1). Menyesah bukan sekadar mencambuk, sebab cambuknya berbeda.
Ujung cambuk Romawi terikat dengan sejumlah cakar dan bola-bola besi. Cakar besi dimaksudkan untuk merobek daging; bola dimaksudkan untuk meremuk tulang. Dengan cambuk itu, Yesus disesah 39 kali (40 diyakini akan menyebabkan kematian).
Pada tahun 1986, sebuah tim peneliti beranggota tiga orang, termasuk seorang ahli patologi dari klinik Mayo, mempelajari prosedur pencambukan ala Romawi dan dampaknya terhadap tubuh (Journal of the American Association, 21 Maret 1986).