Begitulah pertanyaan saya untuk mengonfirmasi tuduhan bahwa Yesus, Juru Selamat bagi umat Kristen, tidak benar-benar mati di kayu salib. Katanya, seseorang menggantikan posisi-Nya.
Saya selalu terpesona dengan orang-orang yang datang dengan teori demikian. Bukan cuma sekali atau dua kali. Dan, bukan hanya orang yang kebetulan duduk di sebelah saya di dalam pesawat atau kereta, tetapi juga teman, kolega, atau mantan. Saya terpesona dengan pikiran yang begitu mudah meyakini sebuah asumsi tanpa pernah menganalisis bukti-bukti.
Isunya sama seperti pola pikir dari mereka yang meyakini bahwa pak Jokowi adalah keturunan PKI, ibunya Kristen, antek asing, memusuhi ulama, dsb. Orang-orang itu percaya hanya berdasar "katanya".
Anehnya, sindrom "katanya" ini bisa menjangkiti siapa saja; tua-muda, profesor maupun tak bersekolah. Entah sejak kapan, orang-orang malas mengumpulkan data atau mencari bukti. Pelajaran tentang metode ilmiah yang diterima di bangku sekolah atau kuliah seolah tidak relevan dalam kehidupan mereka.
Dua Uji Teori
Sebagai dosen, membaca teori-teori baru merupakan bagian dari tugas sehari-hari. Beberapa cukup meyakinkan, tetapi banyak pula yang tidak. Tugas seorang sarjana cukup sederhana: menguji teori-teori itu.
Dari pengalaman saya, menguji sebuah teori tidaklah sulit. Anda bisa menggunakan dua prinsip ini untuk menguji: prinsip korespondensi dan prinsip koherensi.
Prinsip yang pertama didasarkan pada pertanyaan: apakah teori itu sesuai dengan realitas? Dengan kata lain, apakah teori itu memenuhi hukum alam, catatan sejarah, ilmu kedokteran, hukum, psikologi, dsb.?
Prinsip yang kedua bertujuan untuk menguji integritas teori itu sendiri. Apakah seluruh aspek dari teori itu klop satu sama lain? Misalnya, apakah teori gravitasi selaras dengan gambaran besar hukum fisika? Bila dikaitkan dengan cerita, apakah sepenggal adegan selaras dengan seluruh cerita dalam novel?
Laporan Medis dan Catatan Sejarah