Di dalam negeri, Pemilu tinggal menghitung jam. Semua Tempat Pemungutan Suara (TPS) di tiga zona waktu sedang memaksimalkan persiapan sesuai panduan prosedur baku. Sementara itu, setiap Kompasianer telah siap dengan tablet atau jurnalnya, mencoba merekam momen bersejarah lima tahunan ini. Tidak ketinggalan dari kota Manado.
Ini adalah kali pertama saya akan mengikuti Pilpres di Sulawesi. Lima tahun lalu saya menggunakan hak pilih di Cempaka Putih, sesuai domisili yang tertera di KTP. Waktu itu saya mencoblos di atas jam 12 siang karena nama saya tidak terdaftar dalam DPT. Belum tahu bagaimana nanti di sini.
Sebelumnya saya telah melaporkan bagaimana sterilisasi APK menyambut masa tenang telah berjalan baik di kota ini. Selanjutnya, saya berencana melaporkan penyelenggaraan Pemilu secara kronologis. Dalam dua hari ini saya akan menerbitkan artikel berjudul "Mari To Torang Bacoblos (Mari Kita Mencoblos)" yang terdiri dari tiga bagian: Persiapan, Pelaksanaan, dan Hasil Perhitungan.
Pagi ini saya telah menunaikan niat saya mengunjungi TPS dimana keluarga kami terdaftar. Lokasinya di kelurahan Sea-Tumpengan, kecamatan Pineleng, kabupaten Minahasa. Saya tidak tahu nomornya, tetapi jaraknya hanya sepelemparan batu di belakang rumah.
Tampak kursi dan meja telah disusun dengan rapi, meski minim dekorasi. Kesan pertama yang tertangkap adalah bahwa TPS ini kecil. Hanya dua bilik pencoblosan tersedia. Dibandingkan dengan TPS dimana saya mencoblos lima tahun yang lalu, luas tempat ini hanya sepertiganya. Padahal, jumlah pemilih terdaftar sebanyak 233 orang. Darimana saya tahu?
Tiap kelompok rumah tangga dalam gereja (kolom) diperlengkapi dengan satu unit pelantang TOA untuk menyampaikan pengumuman. Biasanya pelantang itu dipasang tinggi-tinggi di atas rumah penatua.
Minggu malam kemarin (14/04), pelantang TOA dihidupkan. Good timing, sebab pada jam itu semua orang sedang berada di rumah menikmati malam syahdu. Namun, kali ini yang disampaikan bukan pengumuman terkait ibadah. Seorang perempuan membacakan nama-nama yang termasuk dalam DPT, yang berakhir pada nomor 233.
Begitulah kami mengetahui bahwa seorang kakak ipar saya tidak terdaftar dalam DPT. Karena itu, kami berdua baru akan mencoblos di atas jam 12.
Senin malam kemarin (15/04) rumah kami kedatangan tamu. Seorang anggota kolom tetangga datang membawa sekantong beras. Dialah salah satu yang fotonya dulu terpajang di simpang tiga jalan menuju rumah kami. Ibu mertua saya sudah tahu maksudnya; orang itu pun tidak menyembunyikan maksudnya. Tahu sama tahu.
Transaksi berlangsung, tetapi tanpa jaminan. Malam itu pula, ibu saya mendonasikan beras yang didapat kepada seorang tetangga kami.
Beberapa tahun lalu, modus yang sama juga terjadi. Sejumlah amplop berisi beberapa lembar uang biru ditemukan pagi hari di bawah pintu. Terselip sebuah stiker dengan foto orang tertentu. Transaksi berlangsung, tetapi tanpa jaminan. Tahu sama tahu.
Ironis. Di kantong kekristenan, rupanya orang-orang Kristen masih mempraktikkan cara-cara busuk untuk berkuasa. Praktik money-politic---atau rice-politic---terang-terangan terjadi di depan hidung gereja. Mustahil praktik gelap ini tidak diketahui oleh para imam atau pengkhotbah. Namun, sampai saat ini tidak ada teguran atau tindakan disiplin nyata dari mereka.
Sebenarnya praktik-praktik seperti itu mubazir. Seperti kebanyakan orang Manado, keluarga istri saya konservatif dalam pilihan politik. Mereka hanya loyal pada satu partai. Apapun yang terjadi. Dan, mereka hanya memilih caleg yang keluarganya telah lama dikenal baik.
Begitulah sekelumit kisah dalam masa pra-Pemilu dari kampung saya di Minahasa. Kemiripan situasi dan modus mungkin bukan kebetulan semata, sebab begitulah realitas politik di banyak daerah.
Namun, kiranya animo kita untuk memilih tidak berkurang. Seberapapun jeleknya akhlak sebagian caleg, masih banyak orang yang baik di negeri ini. Mari jo torang bacoblos!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H