Masa kampanye Pilpres dan Pileg 2019 secara resmi telah berakhir. Di atas kertas, segala aktivitas kampanye, baik above the line (ATL) maupun below the line (BTL) seharusnya telah menghilang dari peredaran sejak hari Minggu (14/04). Namun, fakta berbicara lain.
Sejumlah berita yang diturunkan Kompas.com pada Senin (15/04) melaporkan bahwa sterilisasi Alat Peraga Kampanye (APK) di berbagai kota belum 100%. Memasuki hari kedua masa tenang, materi-materi APK masih terpampang di sejumlah titik keramaian di kota Padang, Jakarta Barat, Medan, dan Kupang. Mayoritas bentuknya adalah spanduk dan baliho. Begitupun, saya mengapresiasi, pelucutan APK dalam masa tenang kali ini lebih terasa ketimbang lima tahun yang lalu.
Pelucutan APK dalam masa tenang kali ini lebih terasa ketimbang lima tahun yang lalu.
Pengamatan saya di kota Manado, misalnya, pencopotan materi APK telah berjalan secara signifikan sejak hari pertama. Keenam baliho semi-permanen yang dulu berdiri di simpang tiga jalan menuju rumah saya telah tumbang pada Minggu dini hari. Turun ke bawah, dalam perjalanan ke gereja, saya menemukan seorang bapak memotong sendiri tonggak sebuah baliho dengan parang. Mungkin dia jengah.
Dalam perjalanan ke gereja, saya menemukan seorang bapak memotong sendiri tonggak sebuah baliho dengan parang. Mungkin dia jengah.
Taman Berkat (Godbless Park), yang berada di pusat kota, jalan Pierre Tendean, selama tiga bulan terakhir telah berubah menjadi Taman Baliho. Siang ini, showroom APK favorit caleg setempat itu tampak lengang. Laut biru pun terlihat kembali dari dalam mobil angkot.
Maka, bila Pemkot optimis bahwa para aparaturnya akan menyapu bersih semua APK pada hari ini, saya yakin dan mendukung. Hanya saja, setelah itu, semua limbah APK itu mau dikemanakan? Mudah-mudahan tidak dikubur begitu saja di TPA.
APK = Limbah Plastik Demokrasi
Saya selalu melihat demokrasi saat ini seperti sebuah pasar investasi. Komponen-komponennya menunjukkan analogi yang sesuai dengan ciri sebuah pasar ekonomi. Sebutlah modal (capital) yang dicari adalah suara (vote) dan pemodalnya (investor) adalah rakyat. Bertindak sebagai perusahaan emiten adalah kandidat, baik itu capres/cawapres ataupun caleg.
Saya selalu melihat demokrasi saat ini seperti sebuah pasar investasi.