Dalam sebuah pasar demokrasi, parpol berfungsi sebagai pialang (broker) yang mengarahkan dan memperdagangkan capital suara. Kecil atau besar, setiap isu berpengaruh terhadap aliran modal (vote). Â Untuk itu, mereka harus rajin memerhatikan berita dan laporan-laporan yang diterbitkan lembaga pemeringkat (perusahaan survei).
Para kandidat berusaha mendapat suara sebanyak-banyaknya. Di sinilah peran advertising diperlukan. Dengan arahan dari perusahaan konsultan, capres atau caleg berusaha mengiklankan citra yang menurutnya akan mendatangkan suara paling banyak.
Siapapun yang bergerak dalam industri periklanan (advertising) mafhum dengan unit yang namanya spanduk atau baliho. Spanduk, khususnya, belakangan menjadi alat promosi favorit perusahaan-perusahaan consumer goods sejak satu dasawarsa terakhir.
Spanduk, khususnya, belakangan menjadi alat promosi favorit perusahaan-perusahaan consumer goods sejak satu dasawarsa terakhir.
Setiap warung atau toko ingin agar namanya dikenal. Hasrat ini bergayung sambut dengan tujuan abadi perusahaan untuk memasyhurkan produknya. Begitulah awalnya sehingga spanduk (sunblind) kini melambai di setiap warung dan toko.
Para caleg tampaknya lebih menyukai model baliho semi-permanen. Selain ringkas, APK ini gampang dibongkar-pasang, dan mampu bertahan selama durasi kampanye. Lagipula, ongkos produksinya murah, dengan view-impact yang besar.
Para caleg tampaknya lebih menyukai model baliho semi-permanen.
Kebetulan, baik spanduk maupun baliho memiliki bahan yang sama, yang sering disebut flexi. Umumnya ada tiga jenis bahan flexi yang sering dipakai di negeri ini. Diurutkan sesuai asal dan kualitasnya, mereka adalah flexi Cina, flexi Korea, dan flexi Jerman.
Flexi Jerman mempunyai daya tahan 1-2 tahun, sehingga cocok untuk keperluan promosi luar ruangan (outdoor). Masalahnya, harganya cukup mahal, sekitar Rp 100 ribu/meter persegi.
Sebaliknya, flexi Cina, sesuai harganya yang murah, memiliki kualitas terburuk. Umumnya hanya bertahan 2-3 bulan saja. Maka, tanpa mengorbankan kualitas, banyak perusahaan advertising memilih flexi Korea yang masih terjangkau, sekitar Rp 40 ribu/meter persegi.
Yang menjadi masalah, semua bahan flexi merupakan materi campuran plastik; musuh semua aktivitas Greenpeace. Setelah masa kampanye berakhir, ratusan ton limbah demokrasi menimbulkan bencana lingkungan.