Jika kita ditanya, darimanakah asal pahlawan Imam Bonjol, rata-rata kita dapat menjawab: Sumatera Barat. Ini adalah sebuah pengetahuan yang kita hafalkan waktu kecil. Namun, mengenai dimana beliau wafat dan dimakamkan, saya tidak yakin semua kita tahu.
Kuburan Tuanku Imam Bonjol terletak di desa Lotta, kecamatan Pineleng, kabupaten Minahasa. Rumah yang saya tinggali saat ini masih satu kecamatan dengan makam itu.
Tampaknya tanah Minahasa merupakan salah satu tempat pembuangan favorit Belanda. Selain Imam Bonjol, di sini juga terdapat makam Permaisuri HB V (Manado) dan Kyai Mojo (Tondano). Pangeran Diponegoro juga pernah dibuang di sini sebelum dipindahkan ke Makassar.
Kompleks pemakaman Imam Bonjol cukup megah. Makam utamanya berarsitektur rumah gadang; satu-satunya di seluruh Sulawesi Utara.
Pada batu nisan sang pahlawan tertulis: "Peto Syarif Ibnu Pandito Bayanuddin bergelar Tuanku Imam Bonjol Pahlawan Nasional. Lahir tahun 1774 di Tanjung Bungo/Bonjol Sumatera Barat, wafat tanggal 6 November 1854 di Lota Minahasa, dalam pengasingan pemerintah kolonial Belanda karena berperang menentang penjajahan untuk kemerdekaan tanah air, bangsa dan negara".
Meskipun cukup panjang, tetapi rasanya masih terlalu sedikit informasi dalam baris-baris nisan itu. Maka, saya mulai menggali sumber-sumber di internet.
Muhammad Shahab adalah nama asli beliau. Terlahir sebagai putra dari Khatib (Pandito) Bayanuddin, sejak kecil ia ditakdirkan untuk menjadi ulama dan pemimpin masyarakat. Setelah menamatkan pendidikannya di Bumi Rencong, Aceh, beliau mendapat sejumlah gelar seperti Peto Syarif dan Malin Basa.
Nama Tuanku Imam Bonjol mencuat berkat palagan epik yang sering disebut sebagai Perang Padri.
Alkisah pada paruh pertama abad ke-19 terjadi perang saudara di dalam wilayah kerajaan Pagaruyung. Di satu sisi berdiri kaum Padri yang ingin menerapkan syariah Islam secara radikal. Berseberangan dengannya adalah kaum Adat yang moderat---dalam arti menjalankan hukum-hukum Islam secara longgar---termasuk beberapa kebiasaan musyrik.