Sebagai penikmat sejarah, saya lebih suka menelusuri lorong-lorong museum atau candi ketimbang ngemall. Selain murah, mengunjungi museum banyak memberi wawasan sejarah. Maka, ketika pindah Manado tahun lalu, saya berharap dapat menemukan museum atau cagar budaya lokal. Dikenal harmonis dengan pemerintahan Belanda, Manado tentu memiliki segudang peninggalan dari zaman kolonial.
Ternyata tidak butuh waktu lama. Namun, saya tidak pernah menduga bahwa salah satunya berada tepat di sebelah kantor baru saya.
Di kelurahan Mahakeret Barat, kecamatan Wenang, Manado berdiri sebuah kompleks pemakaman berarsitektur Jawa. Di gapuranya tertulis: "Tempat Pemakaman Permaisuri Sri Sultan HB V Kanjeng Ratu Sekar Kedaton". Namanya seketika mengingatkan saya pada sebuah restoran mewah di jalan raya Borobudur, Magelang. Apakah mungkin ada kaitannya? Tak tahulah.
Dari luar tampak kondisi pemakaman yang termasuk cagar budaya itu agak menyedihkan. Gersang dan tidak terawat. Cat pagar mengelupas, begitu pula tembok-tembok luarnya. Rumput-rumput liar menjulang dengan angkuh.
Masuk ke dalam, terhampar banyak kuburan di sana sini. Begitu rapat, sehingga sulit menjejakkan kaki tanpa menginjak kuburan-kuburan tak terdeteksi. Beberapa kuburan berbentuk paviliun. Mata saya fokus mencari makam sang Permaisuri.
Agak di ujung, tampaklah sebuah makam paviliun bersahaja. Dari jauh terbaca makam Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan putranya, Pangeran Gusti Timur Muhammad Suryeng Ngalaga. Tertera wafatnya sang Ratu, 25 Mei 1919. Hampir genap satu abad.
Sekar Kedaton dan putranya merupakan korban dari konflik internal istana. Beliau adalah permaisuri (istri utama dari banyak selir) dari Sultan Hamengkubuwono (HB) V. Sebagai permaisuri, nasibnya tentu melekat dengan nasib suaminya.
Sultan HB V lahir dengan nama Gusti Raden Mas Gathot Menol. Sebagai putra mahkota dari Sultan HB IV, ia segera naik tahta setelah ayahnya wafat pada tahun 1823. Saat itu, ia baru berusia 3 tahun.
Belanda tidak menyukai pergantian itu. Terlebih karena Sultan HB V sesungguhnya masih keponakan dari Pangeran Diponegoro. Untuk menerapkan strategi divide et impera, mereka memanggil pulang kakek buyut HB V, yaitu HB II dari pengasingan di Maluku. Jabatan HB V pun dianulir. Namun, tidak untuk waktu yang lama.
Lima tahun berselang, Sultan HB II, yang sudah sepuh, wafat. Otomatis, HB V kembali ke singgasana; kali ini berusia 8 tahun.
Mungkin karena mulai mengerti intrik politik, atau atas bisikan orang-orang dekat, Sultan HB V cenderung bermain aman. Ia tidak menentang penjajah, malahan lebih suka mengurusi hal-hal seni dan budaya. Selain menggelar sejumlah pertunjukan wayang orang, HB V sendiri mencipta beberapa jenis tarian; salah satunya tari Serimpi. Tentu, ini bukanlah hal yang buruk.
Namun, ternyata sebagian besar rakyat, dan kalangan keraton, menilai Sultan mereka lembek dan takut kepada Belanda. Lagipula, tubuhnya yang tambun mengesankan kegemaran berfoya-foya dan tidak peduli rakyat. Pelan-pelan dukungan mengalir kepada Gusti Raden Mas Mustojo, adik kandung sang Sultan.
Dua dekade memerintah, kemelut istana semakin meruncing. Pada tanggal 5 Juni 1855, Sultan HB V ditemukan tewas tertikam di dalam keraton. Tahun yang sama Pangeran Diponegoro wafat di Makassar.
Rakyat geger. Desas-desus beredar bahwa pelakunya tidak lain adalah Kanjeng Mas Hemawati, selirnya yang paling disayang. Orang-orang pun mencibir, "wereng saketi tresno" (mati di tangan kekasih).
Lantas, bagaimana nasib sang Permaisuri? Miris; ketika suaminya terbunuh, ia justru sedang hamil tua. Dan, rupanya, naas terus mengikuti. Pasca lahirnya putra mahkota, justru Raden Mas Mustojo dinobatkan sebagai Sultan HB VI.
Pada mulanya disepakati, bila Pangeran Gusti Timur Muhammad sudah siap memimpin, maka akan dilangsungkan peralihan kekuasaan. Namun, janji tinggal janji. Begitulah sifat orang yang sudah mencicipi kekuasaan. Tepatlah peringatan dari Lord Acton: "Power tends to corrupt". Sepeninggal wafatnya HB VI, yang naik tahta adalah putranya sendiri, yaitu Gusti Raden Mas Murtejo, yang kini bergelar Sultan HB VII.
Tentu, sang ibu suri berang. Gusti Timur Muhammad-lah seharusnya pewaris tahta. Namun, penguasa sudah mengantisipasi. Keduanya dibuang ke Manado, hingga akhir hayat mereka. Tragis.
Putranya, Abdul Razak (Radjab), akhirnya bisa kembali ke Jawa pada tahun 1940. Namun, selamanya ia dan keturunannya dilucuti dari gelar Sultan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI