Carpe Diem
Dalam suatu adegan, Gil dan Adriana, entah bagaimana, tersasar ke sebuah kafe pada era yang lebih jadul. Di situ Adriana dengan cepat mengenali sosok-sosok artis dan penulis legendaris dari abad 19. Kebetulan, itulah zaman keemasan menurutnya. Ia tergoda untuk menetap di zaman itu.
Sang sutradara, Woody Allen, memakai momen ini untuk memakukan sebuah pesan yang transenden.Â
Gil kemudian berkata kepada Adriana, "Jika kamu tinggal di sini, dan ini menjadi masa kinimu, maka segera kamu akan membayangkan masa lain yang kamu anggap adalah zaman keemasan. Itulah artinya masa kini; memang agak mengecewakan, karena hidup agak mengecewakan".
Ini adalah waktu yang tepat untuk meninggalkan sebuah pertanyaan reflektif kepada kita semua.
Mungkinkah saat ini kita hidup di sebuah zaman keemasan? Saya tidak bermaksud pesimis terhadap hal-hal yang lebih baik di masa depan. Namun, kita tidak boleh pula menegasi kemungkinan bahwa zaman ini dapat menjadi zaman keemasan yang akan dirindukan oleh generasi alfa, beta, gamma, dan seterusnya.
Bisa jadi generasi-generasi selanjutnya akan iri terhadap program-program televisi yang saat ini kita saksikan, fesyen yang kita kenakan, games dan gadget yang kita gandrungi, atau musik dan artis yang sedang berkarya di zaman ini. Atau, bisa jadi mereka akan membandingkan rezim yang sedang menguasai mereka dan iri terhadap kepemimpinan Jokowi saat ini.
Adalah sangat mungkin bahwa masa kini merupakan zaman keemasan Indonesia, menurut aturan definisinya sendiri. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah merelakan diri mengikuti bujukan Horatius. "Carpe diem, quam minimum credula postero". Petiklah hari ini, dan percayalah sesedikit mungkin akan hari esok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H