Tentu, ini merupakan sindiran. Kita tidak mengharapkan demikian. Namun, itu sangat mungkin terjadi kalau sistem kepartaian politik kita tidak segera direformasi, khususnya menyangkut rekrutmen dan pengawasan kader.
Saat ini, hampir tidak ada standar kompetensi yang jelas bagi para caleg atau calkada. Siapapun, asalkan populer, anak pejabat di masa lalu, berduit miliaran, dapat memperoleh rekomendasi dari pimpinan parpol untuk menjadi kandidat. Tak pernah ada proses verifikasi secara terbuka kepada masyarakat, apakah kandidat yang diusung memiliki kemampuan mengelola pemerintahan, bermoral baik, dan berintegritas.
Tidakkah ini menggelikan? Untuk jabatan yang menentukan nasib orang banyak, tidak ada sistem seleksi yang komprehensif dan ketat. Partai menerapkan seleksi yang longgar terhadap kandidat dengan mengesampingkan kapabilitas dan integritas moral. Di sisi lain, komisi pemilihan hanya berfokus pada kelengkapan berkas-berkas administrasi. Melampirkan SKCK, misalnya, dirasa cukup menjadi bukti integritas moral seseorang.
Semua kebobrokan ini dimulai dari sistem rekrutmen kader partai. Tidak seperti proses rekrutmen management trainee di perusahaan-perusahaan, seorang tidak perlu melewati psikotes berjilid-jilid ketika melamar masuk sebuah parpol. Pun tidak pernah diuji bagaimana logika moral, tingkat kepedulian sosial, atau kadar nasionalismenya. Buktinya, dalam partai tertentu, banyak kadernya mencita-citakan khilafah.
Berdasarkan pengamatan di kota saya, hampir tidak pernah ada parpol menolak siapapun menjadi kadernya. Sejumlah kepala preman menjadi pengurus partai. Beberapa kader berorientasi homoseksual. Logika yang berlaku bagi mereka adalah "Semakin banyak kader, semakin eksis partainya." Jadi, "mengapa dipersulit kalau bisa dipermudah?"
Tidak heran, di beberapa kota, semakin sedikit caleg yang bergelar Magister. Di sini, banyak baliho di pinggir jalan diisi wajah-wajah caleg bertampang mahasiswa dengan gelar strata satu. Mereka tidak mencerminkan harapan baru generasi milenial; mereka hanya terjebak dalam kekacauan industrialisasi demokrasi.
Karena itu, perlu inisiatif perubahan dari pemerintah untuk segera mereformasi UU Pilkada dan Parpol. Regulasi tersebut harus sedapat mungkin meminimalkan potensi politik uang dan korupsi. Misalnya, dengan mengamanatkan sebuah komite independen auditor untuk memastikan mekanisme kepartaian dilaksanakan menurut kaidah good-governance.
Mengingat animo masyarakat menjadi kader parpol begitu besar, proses rekrutmen kepartaian seharusnya dapat dilakukan secara massal. Pemerintah dapat menginisiasi semacam Seleksi Nasional Kader Parpol di seluruh Indonesia. Kategori pengujian diusulkan meliputi kapabilitas memerintah, integritas moral-sosial, dan kompetensi nasionalisme. Hanya orang yang telah mengantongi ijazah kelulusan dari seleksi tersebut dapat menjadi kader suatu parpol.
Kiranya ironi Rommy menjadi pelajaran sekaligus momentum bagi seluruh komponen bangsa untuk menyelamatkan generasi Indonesia dari bahaya korupsi. Beban pemberantasan korupsi tidak semata-mata berada di pundak KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H