Buntut dari jatuhnya pesawat Ethiopian Airlines, sejumlah negara mengandangkan pesawat berjenis Boeing 737 Max-8. Tidak kurang dari China, Ethiopian Airlines, dan Cayman Airways mengumumkan larangan terbang bagi 737 Max setelah kecelakaan mematikan yang kedua kalinya melibatkan pesawat tersebut. Dengan demikian, sekitar 100 dari 350 unit pesawat Max-8 dipastikan tidak mengudara.
Kini, Kemenhub menyusul dengan merilis perintah grounded bagi Max. Lion Air adalah yang paling terkena imbasnya. Dari 13 pesawat Max-8 yang beroperasi di Indonesia, 12 dimiliki Lion Air dan 1 milik Garuda Indonesia.
Indonesia sendiri sudah mengalami pahitnya tragedi yang ditimbulkan oleh pesawat berkapasitas maksimal 210 penumpang ini. Kecelakaan JT-610 ber-TKP di Tanjung Karawang, Jawa Barat pada 29 Oktober 2018 silam masih menyisakan 1001 pertanyaan. Namun, demi keselematan semua calon penumpang, pemerintah tidak bisa menunggu hasil investigasi KNKT.
Terkait kecelakaan Ethiopian Airlines, Tim Advokasi Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (TAKKP), yang dikepalai Edy Kurnia Djati melayangkan Citizen Lawsuit No. 36/Pdt.G/2019/PN.Jkt.Pst. kepada maskapai (Tirto.id; 11/3/2019). Tak tahu apa maunya.
Yang jelas, prosesi jatuhnya pesawat berkode ET-302 tersebut memiliki kemiripan dengan kecelakaan Lion Air JT-610 yang menewaskan 189 orang. Baru lepas landas enam menit, pesawat jatuh pukul 8.44 waktu setempat. Seluruh 149 penumpang dan delapan kru pesawat dipastikan tewas seketika. Diketahui, satu orang WNI turut menjadi korban.
Hasil investigasi sementara menyebutkan Kapten Yared Getachew sempat melaporkan kesulitan teknis dan meminta izin untuk kembali (Return to Base/ RTB) ke Addis Ababa. Pesawat JT-610 juga diketahui mengalami masalah teknis setelah lepas landas. Sepertinya kedua pesawat mengalami naik turun sebelum akhirnya menukik jatuh. Maka, disinyalir, sistem anti-stall pesawat mengalami trouble.
Fitur tersebut bukanlah temuan baru dalam pesawat modern. Pada zamannya, Airbus A320 termasuk yang pertama menggunakan teknologi anti-stall. Satu unit yang dioperasikan oleh maskapai Air France mengalami crash pada 26 Juni 1988. Pesawat jatuh di kawasan hutan di ujung landasan Mulhouse-Habsheim. Peristiwa itu menggegerkan dunia karena disaksikan ribuan penonton Habsheim Air Show dan terekam dalam sejumlah kamera video.
Dengan membandingkan rekaman video dan cokpit-voice-recorder (CVR), penyelidik mendapati kenyataan bahwa pilot sebenarnya sudah berusaha menaikkan hidung pesawat dan membuka throttle. Namun, pesawat tidak merespon naik. Diketahui kemudian bahwa sistem anti-stall pesawat melawan semua usaha pilot. Dalam kondisi stall, pesawat otomatis menurunkan hidung pesawat untuk meredam gejala stall.
Mengandangkan semua pesawat Boeing tipe 737 Max-8 tentu merupakan langkah konkret mencegah bahaya kecelakaan di udara. Keputusan cepat pemerintah patut diapresiasi. Setidaknya calon penumpang 737 Max-8 telah diselamatkan dari maut yang mengancam. Namun, untuk membuktikan apakah langkah tersebut efektif, diperlukan kajian lebih lanjut.
Rajin menonton tayangan Air Crash Investigation di kanal televisi berbayar menolong saya menyimpulkan bahwa kecelakaan pesawat tidak pernah merupakan akibat dari satu persoalan. Mengutip laman flightdeckfriend.com, secara statistik pilot error masih menyumbang kontribusi terbesar (55%) terhadap kecelakaan. Kegagalan mekanis pesawat menyumbang porsi 17%, cuaca 13%, sabotase dan faktor X mencapai 15%.
Berita baiknya, pesawat-pesawat mutakhir kaya dengan berbagai sistem preventif. Di samping itu, pilot juga telah dibekali berbagai pelatihan, bahkan untuk menangani dual-loss-engine di udara. Maka, dapat dikatakan, pesawat baru jatuh bila kombinasi berbagai faktor muncul saling melengkapi.
Kita hanya bisa menanti hasil investigasi kedua kecelakaan itu dirampungkan. Biasanya hasil itu nantinya akan dituangkan ke dalam buku manual bagi pilot dan manufaktur pesawat. Tepatlah bila seorang pejabat ATSB (KNKT Amerika) berkata: "Our pilot's manual books literally are written with blood from previous crashes."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H