Pertama kali saya mengetahui perihal Bang Andi Arief terjerembab dalam kasus narkoba adalah ketika Kompasiana mengumumkannya sebagai Topik Pilihan terbaru. Itulah gambaran betapa besarnya nilai berita tersebut.
Umpatan, makian, dan cacian tentu sudah dilayangkan kepada sang pesakitan. Mertua saya salah satunya. Wajar. Selama ini masyarakat sudah lumayan gerah atas omelan dan komentar-komentar Bang Andi yang bombastis, arogan, dan unfaedah. Kini, semua emosi itu diledakkan. Plus, diakhiri dengan ungkapan: "Sukurin!"
Di balik terali Bang Andi kini termangu. Menyesalkah? Hanya dia yang tahu. Berdasarkan pengalaman saya, pecandu narkoba umumnya sudah kebas-etika. Itulah pelajaran yang saya dapatkan setelah beberapa kali mengadakan pelayanan ke suatu panti rehabilitasi di kawasan Sentul, Bogor.
"Pecandu narkoba bisa jadi adalah orang-orang paling manipulatif yang pernah Anda temui." Peringatan ini saya peroleh dari direktur panti rehabilitasi tersebut. Warga binaan yang paling santun dan berkelakuan baik justru biasanya merancang muslihat yang paling busuk.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menambah umpatan dalam antrian. Bukan pula untuk membesarkan penghakiman kepada para pecandu atau pria hidung belang. Pertanyaan besar di benak kita mungkin adalah mengapa akhirnya seorang Andi Arief nyabu?
Dalam kasus drug-abuse, lingkungan berpengaruh besar. Macam-macam faktornya, dari dibesarkan orang tua yang juga kecanduan, intimidasi pergaulan (peer-presure), tekanan pekerjaan (stress), sampai trauma pelecehan fisik atau seksual.
Melihat perjalanan hidup Bang Andi, mungkin yang terakhir-lah penyebabnya. Sebagai aktivis pro-demokrasi yang pernah diculik rezim Soeharto, Bang Andi bisa terjebak di dalam trauma itu. Seringkali pengalaman traumatis memicu seorang melakukan defense mechanism, salah satunya jenis escapism, dengan lari ke obat-obat penenang.
Jika memang demikian, mengapa harus Bang Andi? Ada belasan aktivis lain yang pernah diculik, tetapi mereka tidak jatuh ke pelukan narkoba atau wanita panggilan. Jadi, ada trigger lain yang hanya bisa disingkapkan melalui konseling dengan psikiater.
Maka, lucu sekali jika ada yang mengaitkan kegemaran Bang Andi nyabu dengan jalannya pemberantasan narkoba oleh pemerintah. Oalah, yang bersangkutan sendiri pernah menjabat sebagai Staf Khusus Presiden di era SBY. Mengapa tidak menyalahkan presiden ketika itu?
Faktor kedua yang paling mungkin adalah tekanan pekerjaan. Menjalankan tugas sebagai Wasekjen Partai Demokrat sejak tahun 2015 sudah pasti bukan perkara mudah. Ia harus memulihkan citra Demokrat yang sedang terpuruk di mata masyarakat. Salah sendiri, puluhan kader terbaiknya diringkus KPK karena korupsi, dan sekarang memilih oposisi.
Tuntutan tugas itu sepertinya begitu membebaninya sehingga, sebelum ditangkap, cuitan terakhirnya adalah mengiklankan Partai Demokrat dan pidato politik AHY. Kasihan.
Apapun kemungkinan yang mendorong Bang Andi nyabu, kejadian ini mengingatkan kita bahwa semakin arogan manusia, semakin besar kelemahan yang ditutupinya. Tidak setiap orang bisa jatuh ke dalam jurang narkoba; hanya yang tidak bersedia mengakui kelemahannya. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H