Mohon tunggu...
Chia
Chia Mohon Tunggu... Jurnalis -

Menanti Kejujuran, Berharap Kepastian...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mengakali Gaji yang ‘Tak Masuk Akal’

1 Oktober 2012   08:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:25 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengatur atau me-manage uang yang ada di 'tangan' (asli milik sendiri bukan dari pinjaman atau ngerampok), memang susah-susah gampang. Istilah di tangan ini, yang kita artikan "cash" baik yang di dompet, brankas, laci, lemari pakaian dan tentunya ATM (dompet elektronik). Mau itu sedikit atau banyak perlu kita maintance/direncanakan sebelum uang itu kita gunakan. Entah, mungkin akan berbeda padangannya dengan orang yang bergelimang harta, termasuk yang memiliki "pohon uang" atau mesin pencetak uang otomatis (emang ada?). Namun pastinya  bagi yang sudah berkeluarga, wajib hukumnya membuat alur keluarnya uang itu pentig (cash flow).

Lalu bagaimana yang masing single? Biasanya agak  cuek, apalagi memiliki sifat konsumeris yang berlebihan. "Gue masih single,jadi ngga masalah kalau ngga punya tabungan'. Waah, kalau zaman sekarang ada yang mempunyai pemikiran seperti ini, rasanya agak salah kaprah. Tapi itu semua kita kembalikan ke pribadi masing-masing. Lagi pula itu uang mereka, bukan milik saya. Tapi alangkah baiknya, selagi muda dan mumpung masih single,  belajar me-manage/mengatur keuangan dengan baik adalah cara yang bijak.

Seperti teori Keynes (John Maynard  Keynes) bahwa pengeluaran masyarakat untuk konsumsi dipengaruhi oleh pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapat mengakibatkan semakin tinggi pula tingkat konsumsi. Hal ini memang benar, karena semakin banyak uang di tangan, keinginan untuk membelanjakan pun akan semakin tinggi pula. Siapa yang tidak tergiur untuk "foya-foya" jika tiba-tiba mendapat uang semilyar? Angan-angan dan rencana ini dan itu sudah pasti berkecamuk di pikiran. Tapi ada yang salah jika hanya mengambil sepenggal dari pendapat Keynes ini, karena menurut ekonom terkenal itu, pendapatan juga berpengaruh terhadap tabungan. Karena semakin tinggi pendapatan, akan semakin besar pula tabungannya, karena tabungan merupakan bagian pendapatan yang tidak dikonsumsi.

Sehingga kalau pendapat atau teori Keynes ini kita ambil secara utuh, maka ketika memperoleh pendapatan yang di pikirkan tidak harus melulu soal bagaimana membelanjakannya (konsumsi), tetapi secara bijak perlu meningkatkan tabungan. Perlu dipertimbangkan, mana yang perlu di perbesar nilainya. Konsumsi atau tabungan? Biasanya dipengaruhi faktor-faktor: Kekayaan yang terkumpul (jumlah), tingkat bunga dan sifat berhemat. Nah, hanya saja ini cuman teori Keynes, dalam pelaksanaanya, tidak mudah. Dimana tabungan cenderung akan di tempatkan pada titik Nol.

Seperti kebiasaan banyak orang, ketika bepergian dengan teman ke sebuah tempat perbelanjaan, tidak mungkin kita tidak ingin membeli sesuatu. Pastinya ketika kita sedang melihat-lihat barang, adalah barang-barang yang menggelitik hati untuk dibeli. Pahadal niat kita hanya mengantar dan sekadar menemaninya untuk membeli sesuatu. Tapi begitu melihat barang yang bagus dan diskon pula? Hmm, mulai kalap dan gelap mata. Bagi masyarakat Indonesia,  budaya konsumtif itu sudah dekat dengan kehidupan sehari-hari. Mulai dari kalangan atas hingga yang hidup pas-pasan. Meski tak punya uang, tetap mengusahakan kesana kemari (mencari) pinjaman hanya untuk bisa membeli barang kesukaannya. Lihat saja dimana ada diskon, di situ pula masyarakat (terutama ibu-ibu) akan berbondong-bondong menyerbunya. Umpel-umpelan tak peduli. Yang penting dapat barang yang mereka inginkan dan seolah-olah tak ada hari esok! Sulit memang jika itu sudah termind set dan terpola dikehidupan masyarakat kita kebanyakan (masyarakat konsumtif).

Kadang-kadang tidak berpikir terlebih dahulu sebelum membeli suatu barang. Yang mereka pikirkan hanyalah 'Diskon, diskon & diskon', tak peduli barang itu (misalnya pakaian) nantinya mereka gunakan atau tidak, yang penting beli dulu. Bahkan ada yang meregoh kantongnya dalam-dalam hanya untuk membeli suatu barang yang tak penting-penting amat. Nah, dipertangahan bulan baru mengeluh, rogoh kantong kanan-kiri, cek atm satu persatu. Lucu kadang-kadang melihat kelakuan orang-orang yang seperti itu. Maka dari itu belilah barang sesuai kebutuhan serta uang yang kita miliki. Kalau dihubungkan ke teori Keynes tadi, maka faktor diskon sebagai bagian dari cara pemasaran sangat berpengaruh penting dalam keputusan mempertimbangkan konsumsi dan tabungan. Seolah-olah diskon akan di padankan dengan tingkat suku bunga. Kalau diskon besar dan suku bunga tabungan kecil, kapan lagi membeli barang-barang dengan diskon yang besar tersebut? Waduh gimana cara menghubungkan teori Keynes ini dengan faktor diskon mungkin lain kali saja dibahas. Namun yang pasti faktor tersebut sangat mempengaruhi niat konsumsi kita.

Pernah suatu kali aku diminta mengelola keuangan beberapa teman kantor. Padahal jelas-jelas saya bukan konsultan keuangan. Mendengar permintaannya, aku hanya menanggapi dengan senyuman. Memang, saya mempunyai cara mengatur uang/gaji saya sendiri. Kapan saya harus mengeluarkan uang untuk belanja kebutuhan pribadi yang bersifat urgent atau yang bersifat biasa? Itu yang harus kita bedakan. Mungkin karena masih single, mungkin kebutuhan yang bersifat urgent itu belum pasti setiap bulan, misalnya belanja keperluan dapur & rumah (ini masih jadi tanggungan orang tua). Jadi biasanya, sebelum membeli suatu barang, saya harus beberapa kali melihat label harganya, beberapa kali survei untuk menimbang-nimbang, apakah harus saya beli barang itu? Ini wajar, dan mungkin semua orang bertindak demikian. Jadi pikirkan masak-masak, apakah sepanjang bulan ini tidak akan ada pengeluaran yang tak terduga? Biasakan diri untuk memperhitungkan segala sesuatu yang behubungan dengan uang.

Kebanyakan orang selalu berbelanja ini-itu ketika uang bulanan masuk kerening mereka. Huh, diakhir bulan di semua atm antri panjang. Tapi justru saya berbanding terbalik dengan mereka. Saya akan berbelanja kebutuhan pribadi di pertengahan bulan. Kalau mengambil uang, itu hanya untuk orang tua, ongkos dan uang makan selama seminggu. Begitu habis, saya ambil lagi, begitu seterusnya. Jika ada sisa uang minggu ini, saya tinggal menambahnya saja. Kenapa tidak ambil uang untuk ongkos dan makan selama sebulan? Tidak. Itu terlalu besar dan yang ada pasti akan banyak beloknya. Dalam artian, pasti uang itu akan habis sebelum waktunya. Jadi saya mensiasati seperti itu.Nah semua ini adalah pendapat saya, mungkin akan berbeda dengan anda. Namun yang pasti mengelola keuangan adalah bagian yang terpenting dalam hidup kita. Jangan sampai terjebak dalam hutang-piutang yang justeru melilit kita atau akan berdampak pada keluarga kita yang tercinta nantinya. Dengar-dengar nih, katanya bukan persoalan mengelola uang "ditangan" seperti defenisi saya diawal  saja yang sekarang menjadi persoalan. Namun cara mengelola utang sudah menjadi perhatian orang banyak. Untuk bagian ini biarlah masing-masing dapat menjawabnya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun