Air adalah sumber kehidupan. Itu betul. Dalam kehidupan sehari-hari, kita hidup tak bisa dipisahkan air. Betul tidakkk?
Dan setiap hari, rata-rata manusia membutuhkan asupan air sebanyak 2 liter. Jika tubuh kita kekurangan air dapat mengakibatkan berbagai penyakit, yang diantaranya adalah gangguan ginjal dan infeksi saluran kemih (sumber google). Nah, jika saluran air mati (seperti yang dialami warga ibukota beberapa hari belakangan ini) maka ada satu penyakit tambahan yaitu gangguan “telinga”. Ya, jika air mati pasti orang-orang akan teriak-teriak (terutama ibu-ibu).
“Wooiiii, air PAM mati…..”.
“Aduuh, gimana nih, mau nyuci kagak bisa,” kata ibu-ibu yang lain.
Peristiwa ini cukup merepotkan warga ibukota. Air untuk kebutuhan sehari-hari seperti MCK, minum dan masak saja warga harus rela antri hingga 10 meter (dari berbagai sumber).
Bahkan disela-sela antri mendapatkan air bersih, mereka harus berebut dengan warga lain dan tak jarang terjadi percekcokan. Itu hanya gara-gara air bersih. Seperti yang dialami oleh teman saya hari ini.
“Woi, yang liputan soal air siapa?,” Tanya salah seorang produser eksekutif.
“Tim-nya udah aku tarik untuk liputan ke tempat lain,” jawabnya.
Sang produser eksekutif itu justru menyalahkan dia.
“Lho, kenapa digeser?,” kembali ia melontarkan pertanyaan.
“Kan, airnya udah hidup. Tadi aku Tanya ke produsernya, dia bilang kagak usah diliput? Ya udah kugeser tim-ku. Gimana ceritanya sich?,” ujarnya dengan penuh kebingungan dan kekesalan (tentunya).
Tanpa sengaja dan kebetulan aku menoleh kebelakang, seseorang yang duduk di belakangku tertawa. Aku tahu dia sangat suka (menurutku) melihat anak buahnya dicemooh orang lain. Dia tak seharusnya seperti itu. Harusnya ia melindungi anak buahnya!
“Eh, dengerin dulu,” sambung sang produser eksekutif.
“Apa?Kan aku bener ngomongnya. Aku ga’ salah?Tadi aku udah tanya sama Rudi (bukan nama sebenarnya), tetep mau diliput apa ga’?Dia bilang ga’, ya udah kugeser tim-ku dari TKP,” tegasnya.
“Kamu dengerin dulu kalau orang ngomong. Jangan main potong aja!Dan kamu jangan geser tim-mu begitu saja. Suruh dia lihat apa yang ada di lapangan. Ajari dia membuat berita, jangan biarkan dia ke lapangan Cuma meliput saja. Kalau begitu kapan pintarnya dia (reporter)”.
“Lho bang, kalau tetap aku paksakan dia ngliput, terus nanti program apa yang mau pakai? Kalau ga’ ada yang mau, ya mubazir dong?”.
“Jangan begitu pola pikirmu. Aku bilang ajarkan dia untuk bisa mengembangkan apa yang ada di lapangan. Ok, kalau air PAM-nya sudah nyala…lihat dulu apakah nyalanya lancar atau airnya keruh? Itu sudah bisa dikembangkan di lapangan dan bisa dijadikan angle liputan,” kilahnya.
“Ya bukan begitu juga bang. Sekarang…”.
“Kamu jangan dengar apa kata produser, tapi lihat apa yang terjadi di lapangan. Kan juga percuma tim-mu sudah ke lapangan terus pulang ga’ dapat apa-apa. Itu lebih mubazir…,”potong si produser eksekutif.
Hanafi (nama samaran), hanya terpaku dan diam. Aku tahu, ia sangat kesal atas kejadian ini. Aku yang mendengar kejadian itu sedih banget.
Aku hanya bisa mendengarkan perdebatan itu. Tak bisa dan tak mampu berbuat apa-apa.
“Lama-lama bete juga kerja di sini,” curhat Hanafi.
“Aku bingung, sebenarnya bos-ku siapa sich? Ketika aku disalahin sama orang, bos-ku kagak ada yang ngebela aku. Sedangkan kalau anak buahnya dia (produser eksekutif) disalahin dirapat, pasti dia belain. Lah, aku?Mau disalahin dan marahin kayak apa sama orang, bos-ku diam aja,” sambungnya.
“Iya om (panggilan akrabku padanya),” jawabku.
Gila ya, Cuma gara-gara air dia mencaci maki temanku. Memang sich, air PAM mati menjadi trending topic di beberapa media termasuk di tempatku bekerja.
Hmmm, semoga saja air tidak mati lagi dan air tetap mengalir hingga selamanya.
Ya, semoga…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H