"Selain orangtua dan keluarga, bagiku dirimu yang terpenting."
"Mulai deeh..." Amanda menyunggingkan senyum manisnya dengan lesung pipi nan menawan sambil menggenggam erat tanganku. Kami pun berkeliling menikmati rimbunnya bunga di balik rumah kaca tersebut. Dari wajah gadis berusia lebih dari seperempat abad itu, terpancar rasa penuh penasaran atas kesukaanku pada Taman Menteng ini.
Bukan bermaksud menyembunyikan 'sesuatu'. Sebab, rahasia akan kesukaanku pada taman ini, karena di sinilah aku pertama kali bertemu dengannya. Dan aku berharap, di tempat ini jua kami melanjutkan ikatan hingga sang tempo memisahkan. Meski diriku menyadari, bahwa manusia hanya bisa berencana.
Tapi yang menentukan, Sang Khalik.
Dari arah parkiran terdengar alunan gitar pengamen. Sayup-sayup, suara tersebut bersahutan dengan gemuruh petir yang ditandai gelapnya langit.
"Aku bisa membuatmu
Jatuh cinta kepadaku
Meski kau tak cinta
Beri sedikit waktu biar cinta datang karena telah terbiasa..."
* * *
Satu windu berlalu sejak pertemuan itu. Delapan tahun bukan waktu yang singkat. Setidaknya bagi diriku yang sudah dua kali melewati momen penting di Piala Dunia. Pejabat pemerintahan telah berganti. Begitu juga dengan situasi di taman ini kian kotor dan tak terawat. Sampah bertebaran di mana-mana. Coretan piloks hampir terdapat di setiap gedung. Namun, hanya ada satu yang tak berubah: Perasaan diriku terhadapnya. Setidaknya, hingga saat ini rasa itu masih tersimpan rapih di hati..
"Setiap Sabtu selalu di sini? Apa tidak bosan?" Sahabatku Len, bertanya.
"Bosan itu pasti. Tapi hanya sementara. Kecuali banjir dan sakit, aku absen di taman ini".
"Apa karena tempat ini mengingatkamu kepada dirinya?"
"Mungkin".