Jalanan di sekeliling rumahmu seperti mengancam nyawaku, trauma memaku lantaran ketidaksiapan oleh cerita yang ku sangka berakhir bahagia. Harapku menipis sebab kau semakin harmonis. Jantung berdetak dengan berontak, khawatir gerimis hadir menyapa lensa mata ketika sedang berkendara.
Mundur bukan suatu alasan untuk bisa bertahan. Menghadapi polusi rindu di sekitar jalan itu, kebisingan kenangan yang terdengar oleh telinga, lalu teriknya hunianmu sebab rencana dahulu yang ingin meminta doa restu.
Trauma? Iya...
Menyesal? Sangat...
Namun untuk apa dipikirkan lagi saat ini. Berakhir cerita bukan berarti berakhir segala. Lantaran aku percaya, cerita yang ditulis pencipta kita; jauh lebih istimewa. Dan percaya, kau ditakdirkan sesaat ke karangan hidupku karena suatu alasan yang jelas. Iya, untuk meluaskan ikhlas.
Tetapi sekarang, aku perlu menganalisa sebelum benar-benar memulai cerita yang menyangkutpautkan rasa; sebab berpindah bukan perkara mudah. Banyak yang gugur dalam medan kerinduan, bertempur melawan kecemasan, hingga amunisi hati yang sukar terisi kembali.
Belum pernah berpijak di Kota Lumpia tetapi sempat menyebabkan diri insomnia. Komunikasi jarak jauh yang ku kira ampuh, ternyata malah membuat hati rapuh. Dan semoga hadirnya selalu membuat harimu kian riang; Tembalangku yang hilang.
____
Karya: Bestara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H