Membuka kembali catatan masa lalu, tanpa tersadar kau menemaniku sambil menerjemahkan kata-kata dahulu yang penuh kecewa. Ketika di lorong rumah sakit, pikiran terbebani oleh ayah masuk ke ruang operasi.
Tiba-tiba kau membebani lagi dengan untaian kata seakan aku sedang baik-baik saja. Mengakui bahwa dulu belum sedewasa ini. Maaf atas segala khilaf. Dariku yang masih mengagumimu.
*
Musim telah berganti, kau masih belum memberi amnesti. Cemas berlebih, pikiran masih belum juga pulih. Menganggap ini berlebihan, lalu bertanya sampai kapan jadi tawanan?
Amarah diluapkan dengan nada lembut, kesalahanku absolut. Meminta kepada Maha Pemilik Segala agar hatimu lunak kembali merupakan keputusan paling mengesankan. Bagaimana tidak, kau akhirnya mau membuka perbincangan kembali meski tak sepenuhnya jiwamu menyertai.
Setelah ditelaah, kau mulai nyaman di dekapnya. Sosok yang kau dulu sebut hama, kini beralih sebagai satu-satunya sumber bahagia.
Air mata yang belum menampakkan kering membuat tubuh bergeming. Langit pagi seakan tersenyum dan berkata bahwa semua ini akan berakhir, mungkin aku akan kuat walau akhirnya sekarat.
*
Mengendarai sepeda motor menuju universitas dengan diiringi bayanganmu sudah membuatku tenang meski sekarang tinggal kenang, lalu ucapan semangat ke kampus yang kini pupus.
Menyendiri di selasar kelas pagi, keramaian mahasiswa lalu-lalang di hadapan jasad yang telah hilang tekad. Hatinya mengatup. Pikirannya nyaris tak hidup.