Kalau membahasa tentang tolerasi antar umat beragama, maka saya ingat tentang teman semasa kecil di Kota Medan. "Nathan... Nathan... Nathan... Aku bawa kue lebaran ini." Saya menunggu di depan pintu dengan membawa sepiring kue dibungkus kain siap diberikan untuk Nathan. Tak lama dia pun keluar. "Ish Enak kali ini pasti kuenya. Bilang sama mamak kau ya terima kasih," kata Nathan sembari mengambil dengan tangkas kue tersebut sejurus kemudian berpindah tangan.
Rasanya masih segar teringat wajah kecil Nathan yang sumringah mendapat bingkisan lebaran semasa kecil dulu. Kue itu selau dibagikan pada malam lebaran hari pertama. Nathan biasanya suka kue selai nanas dan kacang tojen. Oh ya, kue yang diberikan untuk keluarga Nathan dengan berbagai jenis, dari kue sprit, kue selai nanas, kembang goyang, kacang tojen, dan banyak jenis kue lainnya.
Kebiasaan berbagi kue hari raya itu berlaku pada semua keluarga muslim dan kristen di lingkungan tempat tinggal saya. Jadi bukan antara keluarga saya dan keluarga Nathan saja.Â
Sebaliknya saat Hari Natal tiba, keluarga Nathan akan memberikan kue kembali dengan cara yang sama. Kue diletakkan di atas piring dengan dibungkus kain. "Enak ini kuenya, jangan kau habiskan sendiri, bagi mamak kau ya" begitu kata Nathan kalau habis setelah memberi kue natal di hari raya Natal.
Mau itu hari Lebaran atau hari raya Natal adalah waktu berbagi kue dan kebahagiaan antara tetangga Beragama Islam dan Kristen semasa kecil. Tak pernah terlintas merasa enggan memakan apalagi merasa jijik dengan kue yang diberikan. Yang jelas kue itu pasti dinikmati, terutama kue dari keluarga Nathan yang rasanya pasti enak, atau ya enak kali. Lagian sayang kan kue yang sedap tidak disantap.
Nilai Toleransi dari Kisah Berbagi Kue Semasa Kecil
Bagi saya pengalaman berbagi kue lebaran dan kue natal semasa kecil bukan sekedar memberi makanan semata. Melainkan juga tentang berbagi kebahagiaan dikala hari raya. Seperti Nathan yang sangat senang menerima kue dari keluarga saya. Sama halnya dengan tetangga lain yang beragama Kristen langsung mengambil dengan tangkas makanan lebaran tersebut.
Lingkungan tempat tinggal yang berbaur antara umat Islam dan Kristen tak terasa adanya perbedaan. Kalau lebaran bisa merasakan kebahagiaan bersama. Begitu pula dengan Hari Raya Natal, seolah kasih Tuhan juga turun tidak hanya dalam keluarga umat Kristen, tetapi umat Islam juga dalam wujud kue Natal.
Kebersamaan itu tak hanya mewujud ketika hari raya lebaran atau Natal saja, tetapi dalam kehidupan keseharian. Misalnya ketika ada acara pernikahan, sunatan, gotong royong, jaga malam, dan berbagai kegiatan lain kerap dilakukan bersama-sama. Tetangga Islam dan Kristen terbiasa saling mengundang kalau ada cara pernikahan.
Jadi toleransi bisa dikatakan saling menghargai dan menghormati dengan menjalankan kehidupan bertetangga secara bersama-sama. Perbedaan dari segi agama menjadi kekuatan dan bernilai positif. Rasa-rasanya tak pernah terjadi masalah karena alasan agama. Adanya kebalikannya kerap saling membantu antar umat beragama.Â
Oh ya, tak hanya dalam suka, tetangga juga kerap hadir dalam duka. Ketika ibu saya meninggal dunia, banyak sekali tetangga Kristen yang melayat dan merasa kehilangan. Mereka hadir untuk mendoakan dan melepaskan kepergian ibu saya.
Nilai-nilai toleransi itu telah dimulai dari sejak dini dari masa anak-anak. Tetangga Kristen menjadi orang-orang yang kerap hadir baik dalam suka begitu pula dalam duka. Kembali lagi soal Nathan, dia sudah tiada. Saya berharap dia berada dalam damai di surga dan tetap bahagia di alam sana seperti yang saya kenal dulu sedari kecil.
Kisah Ramadan Menarik Lainnya: Ngabuburit di Taman Hotel Selabintana Sukabumi Bersama Tiga Malaikat Hati di Bulan RamadanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H