Di suatu pagi nan santai di rumah, seorang guru tergopoh-gopoh datang ke rumah. Raut wajahnya menggambarkan kekhawatiran, “Pak, Ibu Arden ada?,” tanyanya singkat. Kupanggil Istriku, kukatakan padanya kalau ibu guru memintanya untuk datang ke sekolah. Rupanya, Arden sebagai anggota gerombolan si berat terjatuh saat bermain perosotan. Kepala bertemu lantai halaman sekolah, jadilah darah mengucur membasahi rambutnya. Bagiku, tak aneh. Arden merupakan seorang anak yang super aktif. Di rumah pun, ayah dan ibunya bisa emosi dan pusing kepala kalau dia sedang bertingkah. Apa saja akan dicoba untuk dilakukan, panjat-memanjat, lompat-melompot, lari-larian, dan jatuh kepala mendarat duluan hal biasa.
Singkat cerita, Arden sempat akan dibawa pulang dan menyelesaikan sekolah lebih cepat hari itu. Bukan karena tak percaya sama guru, tetapi demi menjaga rasa kekhawatiran berlebih mereka. Aku sendiri malah merasa bersalah, sudahlah menitipkan anak di sekolah. Eh anaknya super duper lincah malah terjun dari perosotan. Namun apa dikata, Arden menolak pulang dan ingin tetap bersama teman-temannya. Kebetulan akan ada menimbang badan bersama ke posyandu dari sekolah. Arden senang sekali ke Posyandu, karena biasanya mendapat makanan gratis. Ya mau tak mau kubiarkan saja dia di sekolah. Tetapi gurunya sempat menolak dan aku memastikan tak akan ada masalah dari kejadian terjatuhnya Arden. Aku sempat berbicara singkat dengan gurunya.
Guru : Pak, kalo ibu ga bisa ikut. Bapak aja temani Arden timbang badan
Ayah : (senyum) iya bu. Saya ikut (bari senang banyak mamah muda)
Guru : Minta maaf ya pak, anaknya berdarah. Kami ga jaga anak dengan baik. Saya takut pak.
Ayah : Hehehe, Ga papa bu, anaknya yang kelincahan (ngerasa bersalah sama bu guru).
Guru : Maaf ya pak.
Ayah : Ndak papa bu. Terima kasih udah jaga anak saya. Ini anaknya mau ikut timbang badan dan sekolah sampe selesai.
Arden : Ayah aku ga mau pulang. Disini aja mau sama teman.
Guru : hehehe
Ayah : Ya sana. Ayah mah mau nemanin bu guru dan ibu temannya kamu.#eh
Berbicara dan sedikit bercanda dengan bu guru rupanya mampu menawar rasa gelisah sang pengajar. Jadilah, aku menemani anakku ke Posyandu yang lokasinya tak jauh dari sekolah.
Lalu, Kenapa para guru begitu cemas dan cenderung menunjukkan rasa takut ketika Arden terjatuh?
Berhenti Menuntut Guru di Sekolah
Istriku bercerita kalau guru sekolah tersebut mengalami kejadian buruk tahun lalu karena seorang anak pernah terjatuh di sekolah dan kepalanya berdarah. Orang tua sempat menuntut dan protes keras kepada pihak sekolah. Wajar memang khawatir terhadap kondisi anak, tetapi tidak mengancam guru yang jutsru menjaga mereka di sekolah. Semua guru nyaris saja dituntut dan diperkarakan oleh orang tua siswa.
Aku sendiri begitu merasakan kecemasan para guru tersebut. Aku tahu mereka berusaha mendidik dan menjaga anakku sepenuh hati. Tetapi ya namanya anak super lincah apa mau dikata.
Dari kejadian ini, ada satu hal yang ingin kutuliskan, wahai para orang tua berhenti menuntut guru. Selesaikan secara kekeluargaan jika ada masalah anak di sekolah. Guru sebagai pendidik tak layak dituntut. Jika kita sudah menyekolahkan anak ke lembaga pendidikan tertentu, maka percalah sepenuh hati. Kalau takut anak celaka, ya perhatikan situasi sekolah dan ketahui sendiri prilaku anak anda.
Hingga saat ini Arden dalam kondisi sehat dan terus sekolah. Guru tampak tak canggung menjaga anak kami. Hal yang terpenting, kami telah menunjukkan rasa percaya kami kepada ibu guru, sang pendidik anak-anak. Tak layaklah mereka menjadi pesakitan karena kesalahan anak kita. Mari berhenti menuntut guru, mereka terbukti sangat khawatir dengan kondisi anak kita. Sebagai bukti pula, mereka berusaha menjaga anak-anak di sekolah.