Beberapa bulan yang lalu, istri saya yang dalam kesehariannya menjual makanan olahan beku (frozen food) ingin melamar menjadi guru. Alasannya dia ingin memiliki kegiatan yang rutin, tak hanya rumah saja. Dua tahun lamanya setelah melahirkan, dia sama sekali tidak pernah bekerja di luar rumah. Bagi saya tak masalah, dia mau bekerja di mana pun sama saja. Setelah mengirim lamaran, satu bulan berikutnya dia mendapat panggilan dari sebuah sekolah, tepatnya SMK. Sayangnya, lamarannya tak sukses.
Dia ternyata melamar untuk bekerja menjadi guru tak sendiri, temannya juga melamar di sekolah yang sama. Temannya berhasil menjadi guru di SMK tersebut, sebut saja namanya SMK Jaya Kriya. Namun tak lama, temannya berhenti menjadi guru karena permasalahan gaji yang rendah. Temannya itu digaji Rp100.000 per bulan untuk 4 kali pertemuan dalam 1 bulan. Jadi dia hanya menerima Rp25.000 per 1 kali pertemuan atau per minggu. Dipikir-pikir kok ngenes sekali menjadi guru. Kalau gaji sekecil itu ya lebih baik keluar dan mencari pekerjaan lain. Tetapi pekerjaan apa ya, istri saya juga enggak berhasil menekuni pekerjaan lain dan akhirnya melanjutkan usahanya membuat makanan olahan beku.
Gaji yang rendah tak hanya dialami oleh guru. Seorang dosen di sebuah perguruan negeri tak ternama juga mengalami nasib yang sama. Seorang teman yang baru saja lulus S2 dari universitas negeri ternama di Bandung, berhasil menjadi dosen selama 4 bulan. Karena tergolong dosen baru, dia hanya diberi 4 sks dalam 1 bulan. 1 SKS dia dayar Rp100.000. Jadi selama 1 bulan dia menerima gaji Rp400.000. Ketika ditanya, “kok gajinya kecil begitu?” Teman saya malah menjawab, “emang lo mau nambahin.” Namun nasib teman saya ini lebih beruntung, dia memiliki pekerjaan lain dibidang grafis.
Melihat nasib kedua para pengajar diatas, gaji mereka terlampau sedikit dibandingkan biaya hidup yang semakin tinggi. Apalagi BBM baru naik, berbagai kebutuhan naik. Kalau mau makan di warung, rata-rata harga nasi plus ayam sekitar Rp10.000 per porsi. Hidup itu mahal, apalagi bagi orang-orang yang berpenghasilan rendah.
Syukurnya kegetiran nasib guru (mudah-mudahan dosen juga, solanya menterinya beda) yang bergaji rendah didengar oleh Menteri Anies Baswedan. Dia merasa miris dengan kondisi guru di Indonesia. Dia merasa malu melihat beban guru tidak sesuai dengan kompensasi yang diterima. Dia berjanji akan membenahi sistem untuk mensejahterakan guru dan harus mendapat kompensasi berupa gaji yang tersandarisasi. Sehingga, gaji guru jangan sampai Rp 150 ribu, Rp 200 ribu (Beritanya ada disini).
Semoga Menteri Anies Baswedan segera memberi solusi mengenai gaji guru. Kalau gaji guru terlampu rendah begitu, bagaimana cara mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mungkin sebagian guru yang bergaji rendah itu ikhlas dalam mengajar, tetapi apakah tega terus membiarkan jasa mereka yang tak terhingga diganjar dengan penghasilan yang mungkin tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sebulan. Semoga nasib segera berubah. Sekali lagi, Selamat Hari Guru Nasional!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H