Pendanaan jaringan teroris di Indonesia sebagian merupakan pendanaan hasil money laundering (pencucian uang). Proses pencucian uang untuk mendanai sebuah organisasi tersebut sering diterapkan oleh organisasi kejahatan termasuk jaringan terorisme. Tujuan dari pencucian uang tersebut antara lain:
- Menghapus keterkaitan antara kejahatan dengan uang.
- Menghapus keterkaitan antara pemasok dana dengan penerima dana.
- Melindungi dana dari kemungkinan adanya penyitaan atau pengambilalihan.
Adapun tahap-tahap pencucian uang sebagai sumber dana terorisme sebagai berikut
- Tahap pertama, dana diperoleh melalui kegiatan kriminal, baik itu pencurian maupun perampokan. Hasil dari kegiatan tersebut disimpan ke bank. Tahap ini sangat rawan karena tidak menutup kemungkinan bank dapat mendeteksi transaksi mencurigakan.
- Tahap kedua, melakukan beberapa transaksi finansial perbankan terhadap uang yang sudah disimpan di bank. Tujuannya adalah untuk menyesatkan deteksi dari penyidik. Dana tersebut terlihat seakan-akan berasal darisumber yang sah.
- Tahap ketiga ketika dana sudah dinyatakan sah sumbernya dan bebas dari kecurigaan transaksi, maka dana tersebut dikumpulkan kembali melalui kegiatan ekonomi yang sah sebagai misalnya jual-beli barang mewah, investasi dan penanaman saham pada aset seperti perusahaan maupun real estate, maupun investasi di sektor ekonomi lain termasuk kasino, perhotelan, maupun restoran yang mudah untuk mencairkan kembali dana tersebut.
Sumber dana awal diperoleh melalui kegiatan kriminal. Hal ini terbukti karena ditemukan hubungan-hubungan antara jaringan terorisme dan jaringan kriminal. Jaringan terorisme ditemukan mempunyai kedekatan geografis dengan persebaran jaringan penjualan narkotika, sebagai contoh jaringan Al Qaeda di Afganistan dan pemberontak Kun Sa di Myanmar melakukan aksi di wilayah produksi opium terbesar d dunia.
Kegiatan kriminal merupakan unsur penting dalam pendanaan terorisme. Sumber penghasil dana terbesar bagi jaringan teroris adalah penjualan narkotika. Tetapi ada beberapa modus lain yang digunakan seperti pemerasan, perampokan, penyanderaan dengan permintaan uang tebusan, penjualan batu mulia, dan penjualan manusia.
Pada tahun 1970, dalam perkembangan teroris di Indonesia, mulai diketahui bahwa kelompok teroris membutuhkan dana dalam setiap aksi teror yang mereka lakukan. Hal ini diketahui dengan adanya kelompok teror Warman yang melakukan serangan teror untuk mencari dana sebanyak – banyaknya guna membiayai aksinya. Perkembangan pendanaan terorisme berlanjut hingga tahun 2000an, dilakukan dengan aksi fai’, yakni perampokan. Pengungkapan aksi pendanaan teroris terbaru ditemukan pada Maret tahun 2015, ketika Detasemen Khusus Antiteror 88 (Densus 88) berhasil menangkap penyandang dana sekaligus perekrut ISIS dari Indonesia. Dalam melakukan pengumpulan dana, para teroris bekerja secara terorganisir, baik dalam kelompok kecil maupun besar. Hal tersebut dilakukan teroris dengan melakukan pembagian tugas kepada masing – masing anggotanya serta
mempermudah pengumpulan dana. Terdapat dua bentuk pengumpulan dana teroris, yakni legal dan ilegal. Kegiatan legal dilakukan dengan bentuk kegiatan seperti sumbangan anggota jaringan teror dan simpatisan baik yang berada di dalam maupun
luar negeri. Kegiatan ilegal dilakukan dengan perbuatan tindak pidana seperti perampokan bank dan lembaga keuangan milik pemerintah, toko emas, pengusaha
non muslim, kejahatan ITE/cyber serta pencucian uang dengan menyelenggarakan
usaha yang nampak legal. Para teroris mulai masuk dalam sektor perbankan dengan menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening.
Penggalangan dana untuk kegiatan terorisme di Indonesia juga terdeteksi berasal dari beberapa bisnis legal. Sebagai contoh dalam penggalang dana terbesar untuk kelompok Dulmatin adalah Jaja, teroris yang tertembak di Aceh. Jaja yang tertembak di Leupung, Aceh Besar adalah bergerak di bisnis ekspedisi, tambak, dan perbengkelan. Secara hukum, semua bisnis Jaja legal. Dengan dana pribadi Jaja itulah aksi terorisme Dulmatin disupport. Salah satu perusahaan dan bisnis Jaja yang dipakai untuk mendanai teroris adalah CV Sajira Media Karya. Selama ini, perusahaan ini tak pernah dihentikan operasinya oleh kepolisian. Dulmatin yang ahli dalam propaganda berhasil menarik Jaja menjadi donatur. Dan, sejak menyatakan baiat ke Dulmatin, seluruh sumber dana dan jaringan Jaja tunduk pada komando Dulmatin.
Dana pelatihan teror jihad ala Dulmatin diindikasikan berasal dari empat jalur.
- Sisa dana ''jihad" Mindanao. Dana ini sebagian berupa mata uang peso yang sudah diuangkan di Kota General Santos, Filipina.
- Kedua, sumbangan faksi-faksi teroris di luar negeri yang disalurkan melalui jalur Malaysia, Thailand Selatan, dan Filipina. Sebagian uang dolar sudah diuangkan di money changer Menteng senilai USD 1.100. Diperoleh data dari Densus 88 sendiri berupa cap keluar masuk check point Imigrasi di paspor atas nama Yahya Ibrahim.
- Dana sunduq (iuran) anggota jaringan. Besarnya bervariasi mulai Rp 100 ribu hingga jutaan rupiah per orang. Beberapa orang mengaku dikenakan kewajiban menyetor dana jihad dalam jumlah besar, tak peduli dari mana asalnya. Ini mengadopsi cara kelompok Negara Islam Indonesia dalam mengembangkan organisasinya.
- Sumbangan donatur dalam negeri. Polisi mencurigai beberapa nama yang diduga memberikan sumbangan dalam jumlah besar.