Mohon tunggu...
Priyo Wicaksono
Priyo Wicaksono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Akuntansi Program Internasional Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Staf Humas di LSM Sketsa Mentoring Yogyakarta yang bergerak di bidang pembinaan karakter pelajar. Tertarik dalam bidang audit, pemeriksaan keuangan, kasus-kasus perekonomian dan juga mengamati dunia olahraga dan lifestyle.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kehidupan di Korsel yang Bikin "Ngiler" Warga Indonesia

3 Februari 2014   14:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:12 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="540" caption="Potret lalu lintas Korea Selatan saat musim dingin. (Photo: theepochtimes.com)"][/caption] Desember 2013 hingga Januari 2014, penulis mendapatkan kesempatan untuk studi di Korea Selatan tepatnya di Daejeon, kota terbesar kelima di negeri ginseng. Bertepatan dengan musim dingin yang sedang mencapai masa puncaknya, ini merupakan kesempatan pertama untuk bisa menikmati guyuran salju dan suhu dibawah nol derajat celcius. Maklum, Indonesia hanya memiliki dua musim yaitu hujan dan kering, dengan temperatur yang tidak berbeda jauh setiap musimnya. Daejeon boleh jadi merupakan salah satu kota pelajar yang ada di Korea, mengingat banyaknya universitas ternama yang ada di kota ini, contohnya Korea Advanced Institute of Science and Technology (KAIST), Woosong University, Konyang University, dan masih banyak lagi. Universitas di Korea Selatan banyak diminati oleh pendatang dari berbagai negara, khususnya Indonesia. Mahasiswa Indonesia pun memiliki perhimpunan pelajar di Korea (PERPIKA) yang terus mendata mahasiswa baru setiap tahunnya. Tak bisa dipungkiri, promosi budaya dan akademis di negara ini memang sangat sukses menarik pelanggan-pelanggan baru, termasuk saya yang juga mengagumi apa yang membuat Korea Selatan menjadi tempat yang wajib dikunjungi semasa hidup kita. Mengisi waktu luang di sela-sela kuliah, penulis menyempatkan diri untuk berkeliling kota Daejeon, mencoba transportasi publik dan mengunjungi pusat keramaian di Daejeon. Baru keluar dari asrama, yang berlokasi di daerah Jayang-dong, Daejeon, beberapa halte berjajar di tepi jalan raya. Tak sedikit orang yang duduk santai dengan kerabatnya, ada juga yang sendirian, sambil menunggu bus datang. Di setiap halte terdapat layar informasi tentang jadwal kedatangan bus dan juga info tentang posisi dimana bus saat ini berada serta estimasi waktu kedatangan. Era teknologi semakin mempermudah akses untuk jadwal bus, karena selain melihat di layar, kita juga bisa mengunduh aplikasi di ponsel tipe Android untuk data jadwal kedatangan dan keberangkatan bus. Bus tidak akan berhenti di sembarang tempat dan akan berhenti sempurna di halte singgah atau terminal sampai semua penumpang telah masuk atau keluar dari bus. Penumpang yang masuk dikenakan tarif 1.100 Won (kurs saat artikel ini dibuat Rp 11,48 per Korean Won). Namun tidak akan ada kernet yang akan menepuk-nepuk bahu anda dan mengganggu kenyamanan anda untuk menagih uang perjalanan. Sejak di pintu masuk, sudah ada kotak yang terletak di samping supir untuk transaksi pembayaran tunai. Tetapi mayoritas penumpang memiliki kartu akses yang dinamakan T-Money. Kartu ini lebih praktis dan efisien ketimbang pembayaran tunai serta mudah ditemui di beberapa convenience store yang ada di setiap sudut kota. Terlebih, untuk transfer angkutan, misalnya dari bus satu ke bus lain, bus ke subway atau sebaliknya, tidak dikenakan tarif tambahan (untuk perjalanan yang relatif singkat), berbeda dengan pembayaran tunai yang harus dilakukan setiap memasuki bus atau subway. Angkutan umum di Korea jadi kegemaran warga untuk transportasi menuju kantor, kampus, atau sekedar jalan-jalan dan berbelanja menikmati hari libur. Hal ini yang kemudian menjadi alasan mengapa Korea yang lebih megah dan tergolong metropolitan ini lalu lintasnya masih terkontrol dan rapi. Penulis pernah membaca sebuah kutipan dari Enrique Penalosa, Walikota Bogota, Kolumbia berikut, "negara dikatakan maju bukan karena orang miskin punya mobil pribadi, tetapi karena orang kaya mulai tertarik naik angkutan umum". Dan tampaknya julukan kota yang maju pun bisa disandangkan hampir ke seluruh kota yang ada di Korea. Selain angkutan umum, warga juga gemar berjalan kaki. Setiap jalan dilengkapi dengan fasilitas pedestrian area atau trotoar, dan ketika kita sedang berada di luar area pasar, maka tidak akan ada pedagang yang berjualan di trotoar secara liar. Untuk penyeberangan, zebra cross sangat nyaman untuk diakses pejalan kaki, karena terdapat lampu lalu lintas khusus untuk penyeberang dimana pada saat lampu hijau, semua kendaraan tidak akan memotong jalur zebra cross sehingga menyeberang terasa nyaman. Ada pula fasilitas penyeberangan bawah tanah yang biasanya terdapat di kawasan stasiun subway. Anda tidak perlu khawatir soal keamanan anda saat berjalan kaki. Ribuan kamera pengintai atau CCTV tersebar di setiap kawasan perkotaan dan juga di dalam bus atau subway. Jangan coba-coba mengutil di minimarket karena keesokan harinya anda akan melihat foto wajah anda terpampang di depan pintu minimarket. Barang yang tertinggal pun besar kemungkinannya bisa ditemukan kembali dan jika tidak, mungkin seseorang membawanya ke kantor polisi terdekat atau sedang mencari identitas di barang tersebut untuk menghubungi anda. Inilah sepenggal cerita tentang negeri ginseng yang selalu menggugah keinginan penulis untuk kembali lagi ke sana. Dan banyak hal yang menarik dari infrastruktur kota yang sebenarnya bisa kita terapkan di Indonesia. Misalnya saja perbaikan fasilitas umum yang terfokus pada perkembangan angkutan umum. Masyarakat Indonesia cenderung takut untuk mengubah wacana menjadi sebuah realita, dan selalu setengah-setengah dalam menerapkan kebijakan baru. Contoh, ketika Jakarta meluncurkan bus Kopaja ber-AC, tetapi bus yang biasa beredar tidak dihilangkan, maka masyarakat tetap akan bertahan dengan bus yang lebih murah karena cara berpikir ekonomis mereka. Padahal masyarakat mau saja memakai angkutan umum mahal asalkan pelayanannya menarik. Jadi pemerintah akan lebih baik jika lebih meningkatkan kualitas pelayanan ketimbang mempertahankan barang lama untuk mengantisipasi kurangnya minat masyarakat akan perubahan. Dan lagi, pembangunan infrastruktur di Indonesia pasti akan sukses seperti di Korea ketika tidak ada lagi tumpangan-tumpangan atau muatan politik yang ada dalam proyek tersebut, dan semoga tidak ada lagi niatan korupsi dari para pemegang proyek pembangunan Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun