Entahlah, ada apa denganmu? Kini kita pun diombang-ambing oleh silang sengkarut penyebutan istilah radikalisme.Â
Di mana kini terminologis radikalisme bukan lagi bisa dimaknai dengan multitafsir, tapi juga sudah bermakna dimaknai tafsir yang abu-abu, tergantung sesuai selera kehendak pemberi demi alasan, tujuan, dan untuk kepentingan apa?
Bagaimana kita dengan begitu gampangnya membungkus tafsir makna kata radikalisme diperuntukkan sebagai pembenaran yang dimaui.Â
Bahkan atas nama tafsir radikalisme ditanamkan menjadi dan dijadikan instrumentasi pembenaran untuk melakukan tindakan-tindakan represif terhadap mereka yang dianggap berseberangan dalam hal keyakinan politik atau ideologi.
Bagaimana nilai-nilai demokratisasi yang dibangun di tengah kehidupan masyarakat yang heterogen, pluralis, dan multikultural bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika kini distigmatisasi dengan penggunaan pemaknaan tafsir 'kata-kata' sesuai kepentingan politik pemberi tafsir. Â
Bagaimana hari ini kita saksikan tafsir makna radikal berasal dari bahasa Latin; radix yang berarti akar, mengalami pendangkalan makna dan ditafsir abu-abu atas nama pembenaran kepentingan politis kekuasaan.
Termasuk bagaimana saat ini kita pun dihadapkan pada kenyataan bahwa kebenaran yang kita yakini itu tidak selamanya benar karena dapat ditafsir sekehendak otoritatif penguasa.
Kebenaran itu bisa lahir dari wacana, asumsi atau otoritas yang bisa ditafsirkan dalam konteks ruang dan waktu sehingga kebenaran itu sendiri tidak otonom dan tidak tunggal, sehingga dimungkinkan dapat bermakna multitafsir.Â
Sementara di sisi lain, kita sering hanya tunduk tidak berdaya pada hegemoni kebenaran atas supremasi tafsir teks penguasa sebagai sumber kebenaran pemegang kuakuasaan.
Dalam tafsir hermeneutika, kebenaran itu bukanlah soal fakta semata melainkan juga soal makna. Kebenaran itu bukan hanya dimaknai dari apa yang tersurat, tetapi apa yang tersirat di dalamnya. sehingga tafsir kebenaran itu tidak tunggal dan tidak otonom.
Hegemoni kebenaran atas supremasi teks ini sering mengungkung pemahaman kita dan membuat kita terjebak pada hal-hal yang tersurat (bahasa verbal teks), bukannya kebenaran yang tersirat (makna).
Ketika kita meyakini bahwa kebenaran kita adalah kebenaran mutlak, maka yang lain di luar itu adalah salah. Sisi ini menunjukkan kepada kita bahwa justifikasi kebenaran tafsir yang kita yakini tidak selamanya mutlak karena dapat jadi subyektif sifatnya.
Setidaknya ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi kita bersama bagaimana memaknai kebenaran filosofis, bukan pembenaran politis, dalam menjaga dan merawat kehidupan keberagamaan, bermasyarakat, berdemokrasi, dan bertoleransi dengan cara saling menghormati, menghargai, serta tetap guyub rukun saling saling keutuhan dan persatuan. Semoga!
Alex Palit, citizen jurnalis, pendiri Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H