Di sini saya tidak ingin mengomentari saling-silang serang permainan narasi atau diksi yang terkadang tidak elok untuk dilontarkan, seperti pengucapan kata atau istilah "sontoloyo" atau "genderuwo" yang bisa bermakna multitafsir. Apalagi di jelang Pilpres 2019 ini permainan kata-kata bukan hanya dimungkinkan multitafsir, tapi juga digoreng sedemikian rupa.
Pastinya kita semua berharap hendaknya sebagai elit politik juga harus mampu mengendalikan diri untuk tidak melontarkan kata-kata yang sepatutnya tidak elok diucapkan. Bukan cuma tidak elok diucapkan, ditakutkan makna kata tersebut malah menjadi anomali dan berakrobat jungkir balik berpulang ke diri sendiri.
Sebagai capres -- cawapres No.02 yaitu Prabowo Subianto -- Sandiaga Uno, yang sedikit banyak mengapresiasi keberadaan Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara (KPBUN), di sini saya hanya ingin menyampaikan pesan filosofis bambu kurung. Pesan bambu kurung buat Prabowo -- Sandi.
Di KPBUN, keberadaan bambu unik selain memiliki sentuhan artistik sebagai karya cipta seni alami, juga dinilai mengandung muatan simbol-simbol atau bahasa tanda alam yang tersembunyi didalamnya.
Simbol-simbol, bahasa tanda, atau kandungan pesan didalamnya inilah yang kemudian untuk dibaca dan diterjemahkan oleh manusia sebagai kitab tanpo waton, tanpo tinulis neng diwoco (kitab tak terlihat, tidak ditulis tapi bisa dibaca) yang memuat pesan dari gambaran simbol-simbol atau bahasa tanda yang ada.
Dalam khasanah budaya, oleh leluhur nenek moyang kita keberadaan bambu-bambu unik dipakai sebagai sarana ajaran budi pekerti sebagai kitab nyoto seng alami sejareno laku urip, kitab nyata yang alami sebagai pedoman hidup.
Lewat ngaji deling ini pula kita diajak membaca bahasa tanda berupa pesan simbolik dari setiap spesifikasi keunikan bambu unik yang terbentuk secara alami untuk kemudian diterjemahkan. Membaca bambu mengungkap makna.
Lewat simbol-simbol atau bahasa tanda ini kita diajak membaca, menterjemahkan dan memberi arti dari makna pesan yang tersembunyi didalamnya untuk kemudian dipahami oleh tindakan batin atau pengalaman batin, dan kemudian dimaknai lebih jauh lagi dalam tindakan di tengah kehidupan.
Begitu halnya pada bambu kurung, adapun spesifikasi bentuk keunikan bambu kurung ini  merepresentasikan simbolisasi mikul duwur mendem jero yaitu mengajarkan kita untuk senantiasa mengangkat kebaikan sesorang dan mengubur sedalam-dalamnya keburukan.
Dari filosofi mikul duwur mendem jero ini pula mengajarkan hendaknya kita untuk senantiasa berprilaku mawas diri ke diri sendiri sebelum menjalankan sesuatu atau mengatakan sesuatu. Karena dalam kehidupan itu ada yang namanya berputarnya hukum alam yaitu becik ketitik ala ketara. Itulah pesan alamiah dari bambu kurung.
Pada intinya bahwa apa yang tersurat dan tersirat dari bambu kurung ini tak lepas dari keberadaan diri kita sendiri, yang mana semua itu yang untuk membentuk jiwa kita untuk menjadi lebih baik, menghindari diri sifat yang tercela dan selalu mawas diri.
Lewat mikul duwur mendem jero ini pula juga mengajarkan kita untuk senantiasa andap asor, ojo dumeh, ojo adigang -- adigung -- adiguno, ojo rumongso iso -- ning iso rumongso.
Kita sering dengan begitu gampangnya menjelekan atau menyalahkan satu sama lain. Sementara kita tidak mencoba melongok ke belakang, bahwa kondisi yang kita alami sekarang adalah kesalahan kita semua.
Mari kita terutama dalam hal ini elit politik untuk berjiwa besar, berjiwa dan bersikap pemaaf, mikul dhuwur mendhem jero. Tanamlah yang tidak baik, angkatlah yang baik. Kearifan nenek moyang itulah yang harus kita pedomani. Ojo dumeh, ojo adigung adiguno, ojo lali, ojo kagetan. Ojo rumangsa iso, ning iso rumangsa.
Dari sini pula kita diajak mengenal kearifan lokal sebagai warisan budaya bangsa yaitu mikul dhuwur mendhem jero.
Spirit 'mikul dhuwur mendhem jero' mengajarkan kepada kita tentang arti menjunjung tinggi martabat dan kehormatan seseorang atas jasanya dengan mengubur sedalam-dalamnya kesalahan atas pertimbangan kebaikan ke depannya, dengan tidak secara sengaja mencari kesalahan-kesalahan dan mengungkit-ungkitnya.
Terlepas dari pemahaman membaca bambu mengungkap makna, setidaknya dari keberadaan keaneka-ragaman bambu unik ini, di sini kita diajak untuk membaca, mengagumi tanda-tanda kebesaran alam, sekaligus menjadi bukti atas kebesaran Sang Maha Pencipta, kendati lewat sepotong bambu unik (deling).
Lewat tanda-tanda kebesaran alam walau hanya dari sepotong bambu ini akan semakin menebalkan iman dan keimanan juga ketakjuban kita akan kebesaran Tuhan Semesta Alam sebagai Sang Maha Pencipta. Tak ada yang tak ada atas kehendak kuasaNya.
Semoga roh 'mikul dhuwur mendhem jero' akan senantiasa bersemayam di jiwa pemimpin besar atau orang berjiwa besar berjiwa kesatria, Prabowo -- Sandi. Semoga!
Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen #SelamatkanIndonesia, penyuka dan kolektor bambu unik, pendiri "Komunitas Pecinta Bambu Unik Nusantara' (KPBUN)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H