Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Rocky Gerung dan Peradilan Socrates

1 Februari 2019   10:00 Diperbarui: 1 Februari 2019   10:37 397
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rocky Gerung dan patung Socrates (foto ist.)

Di sini saya tidak ingin mengomentari perihal pemeriksaan filsuf Rocky Gerung atas laporan Sekjen Cyber Indonesia -- Jack Boyd Lapian terkait ucapannya "kitab suci itu fiksi" di Indonesia Lawyers Club (ILC), 16 April 2018.

Di sini saya tidak juga tidak ingin mengomentari atau berandai-andai bagaimana dan apa hasil pemeriksaan terhadap Rocky Gerung. Adakah "filsuf bintang panggung ILC" ini akhirnya terjerat pasal penodaan agama atas ucapan "kitab suci itu fiksi"?

Malah di sini saya hanya diingatkan pada "Peradilan Socrates" (399 SM). Kesaksian peradilan Socrates ini diabadikan oleh muridnya yaitu Plato dalam "Apologia Socrates".   

I.F. Stone dalam pengantar bukunya berjudul "Peradilan Socrates -- Skandal Terbesar dalam Demokrasi Athena", menyebutkan bahwa peradilan Socrates ini mengguratkan noda paling hitam dengan mengangkangi kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi di Athena yang dikenal sebagai pengibar demokrasi.

Peradilan Socrates ini dinilainya sebagai paradoks dan hal memalukan di mana kota yang terkenal menghormati kebebasan berbicara itu menuntut seorang filsuf yang tidak melakukan kesalahan apa pun selain mempraktekan kebebasan berbicara.

Dalam apologinya, Socrates mengatakan bagaimana kalian bisa menyombongkan kebebasan berbicara bila kalian memberangus kemerdekaan berbicara yang menjadi hak saya.

Kalian menuntut saya bukan karena hal-hal yang saya lakukan, tetapi hal-hal yang saya katakan terhadap ide-ide.

Bagaimana kalian memperadilkan saya lantaran kalian tidak tahan mendengar pendapat saya yang tidak populer di mata kaum sofis.

Kelugasan saya dalam berbicara membuat mereka membenci saya, dan kebencian mereka itu tidak lain adalah bukti bahwa saya berbicara tentang kebenaran.

Di sini Socrates sadar bahwa ia akan dikalahkan dalam proses peradilan tersebut, apa pun putusannya. Saat itu Socrates harus berhadapan dengan ketiga pendakwanya yaitu Meletus, Anytos dan Lycon.

Ketiga pendakwanya ini mewakili elit kelompok sosial yang berpengaruh di Athena pada saat itu. Meletus mewakili penyair, Anythos mewakili seniman dan negarawan, dan Lycon mewakili musuh besar Socrates yakni kaum sofis.

Di sini Socrates sadar bahwa peradilan yang didakwakan atas dirinya hanyalah kedok politis untuk menyingkirkan dirinya.

Memang, pastinya kita tidak bisa menyandingkan dan membandingkan atas pemeriksaan Rocky Gerung ini dengan peradilan Socrates yang terjadi 339 SM.

Tapi mungkin ada kutipan yang bisa dikutip di sini, yaitu adanya yang tidak tahan mendengar pendapatnya yang tidak populer di mata kaum "power point".

Dan di sini "Socrates Indonesia" sadar bahwa laporan atas dirinya prihal "kitab suci itu fiksi" hanyalah kedok politis yang dipakai oleh kaum "power point" untuk menyingkirkan dirinya.

Apa jadinya di alam demokrasi kebebasan berpendapat manakala kemudian gagasan, ide-ide atau pemikiran bukannya dihadapi dengan tandingan dialog argumentatif secara logika akal sehat, tapi dijawab dengan kriminalisasi.

Alex Palit, citizen jurnalis Jaringan Pewarta Independen "#SelamatkanIndonesia"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun