Hari ini, Minggu 13 Mei, kita rakyat Indonesia dan bangsa Indonesia yang cinta damai  menjunjung tinggi toleransi kembali berduka atas tragedi kemanusiaan oleh peledakan bom yang terjadi pada tiga gereja di Surabaya.
Tapi di sini saya tidak ingin mereportase peristiwa peledakan bom yang terjadi pada ketiga gereja tersebut menjadikan judul atau topik ulasan artikel ini. Â
Di sini saya kembali diingatkan oleh lagu ciptaan sahabat saya yaitu Franky Sahilatua (alm) dan Iwan Fals, berjudul "Di Bawah Tiang Bendera":
Kita adalah saudara dari rahim Ibu Pertiwi
Diterpah oleh gelombang, dibesarkan zaman
Di bawah tiang bendera
Dulu kita bisa bersama dari cerita yang ada
Kita bisa saling percaya yakin dalam melangkahÂ
Lewati badai sejarah
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia... Indonesia... Indonesia...
Â
Mari kita renungkan, lalu kita bertanya;
Benarkah kita manusia?
Benarkah kita bertuhan?
Katakan aku cinta kau
Â
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia... Indonesia... Indonesia...
Lagu yang mereka ciptakan di tahun 2000, di mana lagu ini terinspirasi akibat kegalauan dan keprihatinan kedua penyanyi balada ini melihat semakin merebaknya konflik horisontal bernuansa SARA yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air.
Bahkan hingga kini api latensi konflik ini belum terpadamkan, di mana setiap saat bisa kembali memicu percikan api konflik kekerasan sosial lainnya.
Lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara konflik sosial terpicu lantaran beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan, yang disikapi dengan cara-cara memilih jalan keluar lewat tindakan-tindakan kekerasan, teror, bahkan sampai peledakan bom.
Begitu halnya, saat ini kita pun sering dipertontonkan oleh kekerasan-kekerasan sosial yang dipicu dilatari oleh sentimen isu primodialisme bernuansa, lantaran terpicu beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan.
Benarkah kita yang secara histori kultural dikenal sebagai bangsa yang ramah, rukun, toleransi, saling menghargai dan menghormati sebagaimana dari cerita yang ada, kini sudah kehilangan kemesraan sosial?
Indonesia yang secara histori kultural digambarkan sebagai bangsa yang ramah, selalu hidup rukun penuh toleransi saling menghormati dan menghargai yang disemangati oleh warisan budaya kearifan lokal sebagai perekat sosial, kini diperangi oleh radikalisasi fanatisme keyakinan ideologis, hanya lantaran terpicu beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan.
Sebagai pendukung gerakan moral #SelamatkanIndonesia, di sini saya bukan anti #Salam2Periode, saya bukan anti #2019GantiPresiden, tapi saya #AntiKekerasan,#AntiRadikalisme. #AntiIntoleransi, dan #AntiPolitikSARA, sangat mengutuk keras atas peristiwa peledakan bom tersebut yang telah merenggut korban 11 jiwa dan puluhan menderita luka, serta kerusakan-kerusakan diakibatkan olehnya.
Di sini saya ingin mengajak kita sebagai anak bangsa merenungkan kembali sejarah panjang bangsa ini lewat pemahanan dari sebuah lirik lagu yang begitu menyentuh fitrah kemanusiaan kita sebagai manusia dan bertuhan, berjudul  "Di Bawah Tiang Bendera".
Tinggal bagaimana kita sebagai anak bangsa menempatkan nyanyian "Di Bawah Tiang Bendera" ciptaan Franky Sahilatua dan Iwan Fals ini di tengah kehidupan masyarakat, termasuk jelang Pilpres 2019, untuk senantiasa menjaga semangat damai, toleransi dan menjauhkan politik SARA. Semoga!
Alex Palit, citizen jurnalis independen #SelamatkanIndonesia, pendiri Forum Apresiasi Musik Indonesia (Formasi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H