Di sini saya tidak ingin mengomentari atau berspekulasi prihal kapan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mendeklarasikan diri pencapresannya. Daripada berspekulasi salah tebak, mendingan serahkan saja kepada yang bersangkutan kapan momentum paling tepat untuk deklarasi pencapresannya.
Walau sempat muncul spekulasi deklarasi pencapresan diri akan dinyatakan bertepatan Rakornas Partai Gerindra yang digelar di Hambalang 11 April 2018, tapi hal ini sempat dijawab oleh Prabowo secara diplomatis bahwa dirinya belum punya "tiket" capres ke Pilpres 2019. Â Â
Jawaban Prabowo ini bukan saja jawaban bernada diplomatis, jawaban ini sekaligus merupakan kalimat bersayap yang mengandung multitafsir.
Saya nilai jawaban penundaan deklarasi pencapresan diri ini juga sebagai langkah strategis diambil Prabowo untuk membaca dan mempelajari dinamika peta konstelasi politik mutakhir sebelum ditentukan pengambilan keputusan. Termasuk pengambilan keputusan untuk menentukan pilihan strategis berkoalisi dengan partai mana dan siapa cawapres pendampingnya.
Tinggal bagaimana kita menebak makna yang tersurat dan tersirat dari jawaban kalimat bersayap penuh multitafsir atas pernyataan Prabowo ini.
Kalaupun dibilang Prabowo sedang galau, gundah atau ragu itu tidak juga, justru sebaliknya malah tersimpan rasa percaya diri dan optimisme makin menguat tertancap dalam dirinya tetap maju dan memenangi kontestasi Pilpres 2019.
Di tengah ekskalasi politik kian mendidih serta dipenuhi ragam akrobatika elit politik baik antar kubu lawan maupun kubu kawan atas dasar tendensi kepentingan kekuasaan politik pragmatis, jawaban Prabowo adalah langkah strategis tak terbaca.
Atas jawaban itu, di sini saya diingatkan oleh sebuah nasehat guru bijak mengajarkan;
Diam itu emas!
Ia akan menjadi sahabat pendamping untuk merenung
Ia akan menjadi sahabat sejati yang tidak pernah berkhianat