Mohon tunggu...
Alex Palit
Alex Palit Mohon Tunggu... Jurnalis - Jurnalis

Membaca Bambu Mengungkap Makna

Selanjutnya

Tutup

Politik

Di Bawah Tiang Bendera

4 November 2016   22:24 Diperbarui: 4 November 2016   22:33 533
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini, saya kembali diingatkan oleh lagu ciptaan Franky Sahilatua dan Iwan Fals, berjudul “Di Bawah Tiang Bendera”;

Kita adalah saudara dari rahim Ibu Pertiwi
Diterpah oleh gelombang, dibesarkan zaman
Di bawah tiang bendera
Dulu kita bisa bersama dari cerita yang ada
Kita bisa saling percaya yakin dalam melangkah
Lewati badai sejarah
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia... Indonesia... Indonesia...
Mari kita renungkan, lalu kita bertanya;
Benarkah kita manusia?
Benarkah kita bertuhan?
Katakan aku cinta kau
Pada tanah yang sama kita berdiri
Pada air yang sama kita berjanji
Karena darah yang sama jangan bertengkar
Karena tulang yang sama usah berpencar
Indonesia... Indonesia... Indonesia...

 Lagu yang mereka ciptakan di tahun 2000, di mana lagu ini terinspirasi akibat kegalauan dan keprihatinan kedua penyanyi balada ini melihat semakin merebaknya konflik horisontal bernuansa SARA yang terjadi di sejumlah daerah di tanah air.

            Bahkan hingga kini api latensi konflik ini belum terpadamkan, di mana setiap saat bisa kembali memicu percikan api konflik kekerasan sosial lainnya. Lebih memprihatinkan lagi, banyak di antara konflik sosial terpicu lantaran beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan, yang disikapi dengan cara-cara memilih jalan keluar lewat tindakan-tindakan teror, anarkisme, amuk massa serta bentuk brutalisme kekerasan lainnya.

            Begitu halnya kita sering dipertontonkan oleh kekerasan-kekerasan sosial yang dipicu dilatari oleh sentimen isu primodialisme bernuansa, lantaran terpicu beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan.

            Benarkah kita yang secara histori kultural dikenal sebagai bangsa yang ramah, rukun, toleransi, saling menghargai dan menghormati sebagaimana dari cerita yang ada, kini sudah kehilangan kemesraan sosial?

            Indonesia yang secara histori kultural digambarkan sebagai bangsa yang ramah, selalu hidup rukun penuh toleransi saling menghormati dan menghargai yang disemangati oleh warisan budaya kearifan lokal sebagai perekat sosial, kini diperangi oleh radikalisasi fanatisme keyakinan ideologis, hanya lantaran terpicu beda pendapat, tafsir, beda keyakinan, beda paham, pahamnya salah, atau beda pilihan.

            Di sini saya ingin mengajak kita sebagai anak bangsa merenungkan kembali sejarah panjang bangsa ini lewat pemahanan dari sebuah lirik lagu yang begitu menyentuh fitrah kemanusiaan kita sebagai manusia dan bertuhan, berjudul  “Di Bawah Tiang Bendera”.  Tinggal bagaimana kita sebagai anak bangsa menempatkan nyanyian ”Di Bawah Tiang Bendera” ini di tengah kehidupan masyarakat. Semoga! (Alex Palit)

Alex Palit, Pemimpin Redaksi Bambuunik.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun