[caption id="attachment_339886" align="alignleft" width="300" caption="Jokowi di markas Slank (foto dok Tribunnews.com)"][/caption]
“Bang bang tut akar gulang-galing / Siapa yang kentut ditembak raja maling / Musuh dalam selimut sama juga maling / Mulut bau kentut, di belakang ngomong miring”,begitu disebutkan dalam cuplikan lirik lagu “Bang Bang Tut” (BBT), ciptaan grup band Slank, tentang siapa yang kentut ditembak raja maling. Celakanya untuk menemukan siapa yang kentut sulitnya bukan main. Apalagi kentutnya diam-diam tanpa bersuara, kian sulit memergoki pelakunya, meski semerbak bau tak sedapnya tercium secara masif kemana-mana dan dapat dirasakan. Itu yang terjadi dan itu yang kita saksikan di drama persidangan gugatan sengketa Pilpres di Mahkamah Konstitusi (MK) dan sidang etik Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Karena mana mau raja maling mengaku bahwa dirinya yang kentut, meski dari mulutnya sudah bau kentut, tapi tetap saja yang bersangkutan akan matian-matian membela diri sambil didampingi tim penasehat hukumnya bahwa dirinya bukan maling. Karena kalau ketahuan dan terbukti kentut sama juga maling. Namanya juga maling, ia akan mencuri apa yang dimaui, termasuk mencuri suara.
Kata mencuri suara atau pencurian suara ini sempat ramai dan marak menjadi perbincangan pada Pilpres 2014. Siapa yang mencuri dan melakukan pencurian suara, siapa lagi kalau bukan maling suara. Makanya si maling suara ini tidak mau ketahuan dan jangan sampai ketahuan belangnya bahwa dirinya yang kentut agar jangan sampai ditembak dituduh sebagai raja maling.
Apa yang tersurat dan tersirat di cuplikan lagu BBT ini merupakan bentuk kritik sosial Slank dengan menyebut siapa yang kentut ditembak raja maling. Sudah tentu si raja maling ini akan berkelit buang badan bahwa dirinya tidak kentut atau bukan yang kentut, meski dari mulutnya sudah terendus bau kentut.
Nyanyian BBT ini juga mengemuka di sidang gugatan sengketa Pilpres 2014 yang digelar di MK. Namum karena alat bukti dan kesaksian yang disampaikan di persidangan dianggap kurang cukup keterbuktiannya adanya BBT, akhirnya MK memutuskan menolak keseluruhan gugatan yang diajukan pemohon. Meski dalam kesaksian pemohon sudah menunjukkan adanya bukti semerbak bau kentut tersebut tercium secara masif kemana-mana dan dapat dirasakan, tapi semua kesaksian itu dianggap mentah dan dinafikan. Alhasil nyanyian BBT di sengketa Pilpres 2014 berakhir dengan putusan MK menolak gugatan yang diajukan pemohon.
Di balik semua kritik tajam BBT terkait tudingan siapa yang kentut raja maling, di coda atau bagian akhir lagu ini tersirat pesan moral bahwa sepandainya tupai melompat akhirnya jatuh juga, ketahuan belangnya. Begitu halnya sepandai-pandainya mengakali bau kentutnya agar tidak tercium, tetap saja bau tak sedapnya yang menyengat tercium. Lempar batu sembunyi tangan, becik ketitik ala ketara!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H