Mohon tunggu...
Ikhwan Wahyudi
Ikhwan Wahyudi Mohon Tunggu... Administrasi - membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

membaca menambah wawasan, menulis menuangkan pemikiran, berdiskusi mengasah gagasan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tekan Inflasi Melalui Cetak Biru Produksi Cabai

17 Juli 2014   23:54 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="alignnone" width="800" caption="Seorang pedagang tengah memilih cabai di Pasar Raya Padang (Foto :antarasumbar.com)"][/caption] Warnanya merah, rasanya pedas, orang Padang menyebutnya lado, ada juga yang menulis cabe, tetapi di Kamus Bahasa Indonesia  bumbu masakan  yang populer ini diberi nama cabai. Bagi warga Sumatera Barat, cabai  menu wajib yang selalu hadir menemani santap di meja makan. Cabai diolah dengan berbagai bahan masakan lain mulai  samba lado (sambal), campuran bumbu untuk membuat masakan seperti gulai, rendang, goreng, dendeng, sate, soto, dan lainnya. Kendati cita rasanya pedas, bagi orang Minang jika makan tanpa cabai  ada yang kurang dan tak lengkap. Bahkan, sepiring nasi panas yang sedang mengepul, ditemani sayur ubi plus sambal lado sudah membangkitkan selera. Sedap dan nikmat hingga makan pun berkeringat. Berdasarkan survei yang dilakukan Pusat Kajian Sosial Budaya dan Ekonomi (PKSBE) Universitas Negeri Padang (UNP) Padang, 90 persen masyarakat di daerah itu  memandang cabai sebagai salah satu bumbu masak utama yang penting dan harus tersedia. Berdasarkan perhitungan  kebutuhan cabai warga Padang mencapai 36,91 ton per hari  dimana warga Padang minimal mengkonsumsi sekitar 0,5 ons atau lima buah cabai merah ukuran sedang setiap hari. Karena tingginya kebutuhan terhadap cabai, jika komoditas ini terganggu pasokannya dipastikan harganya akan melejit. Makanya, berdasarkan hasil kajian kantor perwakilan Bank Indonesia wilayah VIII  salah satu komponen pembentuk inflasi di Padang berasal dari kelompok bahan makanan yaitu beras dan cabai yang memiliki bobot terbesar. Hal yang menyebabkan terganggunya pasokan cabai mulai dari ketersediaan stok, transportasi hingga ulah spekulan yang sengaja menimbun pada momen tertentu untuk meraup keuntungan begitu harga naik. Memasuki Ramadhan dan Idul Fitri, praktis kebutuhan cabai meningkat dibandingkan hari biasa. Memasuki awal puasa, setiap rumah tangga punya tradisi memasak rendang sebagai hidangan untuk makan sahur dan berbuka. Jika satu rumah tangga menggunakan 100 gram cabai untuk memasak rendang, dimana ada sekitar satu juta rumah tangga saja, maka total cabai yang dibutuhkan mencapai sekitar 100 ton. Tak heran ketika memasuki awal puasa akibat tingginya permintaan membuat harga komoditas tersebut merangkak naik sehingga  para ibu rumah tangga menjadi menjerit. Dari survei PKSBE Universitas Negeri Padang (UNP) Padang tersebut, harga ideal cabai yang wajar di tingkat konsumen berdasarkan pandangan masyarakat berkisar Rp24 ribu hingga Rp26 ribu per kilogram. Namun, tak jarang ketika memasuki awal Ramadhan bisa mencapai Rp50-80 ribu per kilogram. Walaupun demikian, jika harga cabai merangkak naik, para ibu  tetap  membelinya  dan menyiasati dengan   mencampur cabai merah dengan  cabai rawit  agar rasa pedas pada masakan tetap terasa. Sebaliknya jika harga cabai murah, maka para ibu rumah tangga akan menambah lauk lain sebagai variasi. masakan. Ternyata, kendati mayoritas mata pencarian warga Sumatera Barat adalah petani, produksi cabai lokal tak mampu menutupi kebutuhan masyarakat. Mengacu pada survei preferensi dan prilaku konsumen terhadap permintaan cabai merah, pasokan cabai untuk kota Padang yang setiap harinya mencapai 36,91 ton tersebut sebanyak 22,5 ton dipasok dari Pasar Muntilan Yogyakarta dan sisanya berasal dari hasil produksi petani lokal. Pasokan cabai itu diangkut menggunakan truk dimana setiap harinya sekitar lima truk tiba di Padang. Dapat dibayangkan jika ada kendala transportasi seperti ada longsor di jalur lintas Sumatera, maka pasokan cabai di Sumbar akan langsung menipis. Untuk mengantisipasi hal itu, menurut sejumlah pedagang besar cabai di Padang jika pasokan melalui jalur darat  terkendala sehingga terlambat tiba mereka menyiasati dengan melakukan pengiriman menggunakan pesawat udara. Bayangkan pedagang saja rela memasok cabai menggunakan pesawat udara demi memenuhi kebutuhan kendati ongkos angkutnya menjadi besar dan berimbas pada harga. Dengan demikian pergerakan harga cabai di Padang dipengaruhi oleh dua aspek yaitu pergerakan harga di Yogyakarta dan kelancaran transportasi darat dari Yogyakarta ke Sumatera. Cetak Biru Produksi Cabai Tentunya dua aspek tersebut merupakan kunci utama untuk mengatasi gejolak harga cabai di daerah ini, namun bukan berarti ketersediaan pasokan hanya disandarkan pada dua hal itu semata. Memang salah satu fenomena menarik, berdasarkan penelusuran kepada sejumlah pedagang pengumpul cabai yang ada di daerah ini, sebagian besar cabai produksi petani malah di kirim ke luar daerah dan sebaliknya cabai dari luar dipasarkan di daerah ini. Namun, ini menjadi kajian yang menarik untuk diteliti mengapa bisa terjadi demikian. Dalam hal ini Bank Indonesia dapat mengambil peran bersama pemerintah daerah untuk bersama-sama membuat konsep dan rencana pengembangan komoditas cabai agar produksi lokal meningkat dan dapat memenuhi kebutuhan daerah. Melalui Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) Bank Indonesia selaku salah satu komponen yang ada didalamnya bersama-sama menjadi penggerak untuk membuat cetak biru produksi cabai di Sumatera Barat. Semua aspek harus diidentifikasi mulai dari ketersediaan lahan, bibit, pupuk hingga aspek pemasaran mulai dari jalur distribusi  dan lainnya. Semua pihak terkait juga harus dilibatkan dan ikut andil mulai dari gubernur, bupati , wali kota hingga Dinas Pertanian yang menjadi ujung tombak untuk mewujudkan swasembada cabai di daerah ini. Tentu saja semua itu tidak akan dapat terwujud tanpa partisipasi dan keseriusan semua pihak dimana Bank Indonesia adalah stakeholder yang paling strategis dan berkepentingan dalam hal ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun