Mohon tunggu...
Petrus Rampisela
Petrus Rampisela Mohon Tunggu... wiraswasta -

Dalam 4 milyard tahun, temperatur bumi akan naik menjadi sekitar 350 derajat karena diameter matahari yang terus berkembang. Pada temperatur itu, tidak satupun kehidupan bisa bertahan, jadi kita harus mencari planet lain untuk pindah. Oleh karena itu, seluruh umat manusia harus mencari cara untuk hijrah dan mungkin hijrah inilah yang terbesar dan untuk menyelamatkan umat manusia. Pilihannya cuma dua "Mati atau Hijrah ke Planet lain". Agama pasti tidak akan menyelesaikan hal ini, jadi kita harus mencari kepercayaan yang lain. Kelihatannya TUHAN telah mengirimnya dan dia bernama IPTEK.\r\n\r\n================================\r\n\r\nPernah tinggal di Perancis dari tahun 1987-1993 untuk menyelesaikan program master dan doktor di Centre d'Etudes Nucleaires de Grenoble. Kemudian menjadi dosen di jurusan Fisika MIPA Universitas Hasanuddin Makassar dan kemudian bekerja pada perusahaan kontraktor untuk PLN. \r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Negara dan Agama

22 Oktober 2009   13:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:34 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Salah satu phenomena terbesar yang mempengaruhi jalan hidup manusia sepanjang sejarah keberadaan nya yang berumur 2,5 juta tahun adalah Tuhan. Dalam sejarahnya, bentuk Tuhan digambarkan begitu bervariasi atau wujudnya begitu beragam, dalam bentuk pohon besar lah, dalam bentuk patung burung rajawali pada waktu mesir kuno, dalam bentuk banteng emas lah, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lainnya.

Sekitar 4000 tahun yang lalu, datanglah paham monotheisme atau Tuhan Maha Esa, dan malahan gambar atau wujud Tuhan menjadi hilang dan kita semua menjadi bingung. Yang kita ingat malah, hanya wujud nabinya, dan inilah mungkin awal dari kekeliruan manusia.

Definisi nabi sendiri sudah membingungkan, yang jelas semua aspek fisik dari nabi, sama saja dengan manusia biasa. Perlu makan, perlu teman, perlu pakaian, dan yang terutama, lahir dan mati seperti manusia biasa lainnya.

Waktu saya remaja dulu, tiap waktunya saya rajin ibadah, tapi entah kenapa sejak tahun 1987, saya menjadi KAFIR kata teman-teman. Itulah tahun dimana saya berangkat ke perancis, negara dimana agama katolik pernah menjadi agama nasional.

Dan secara kebetulan, revolusi perancis terjadi pada tahun 1789 (mirip kan dengan tahun 1987), saat itu orang-orang perancis kelas bawah berontak terhadap Raja Louise XVI dan memenggal kepala sang raja dengan guillotine dan hampir saja memenggal kepala sang USKUP yang mencampuri terlalu dalam pemerintahan.

Sejak saat itu, Perancis memisahkan secara tegas antara agama dan negara. Revolusi pemisahan agama dan negara ini berlanjut secara pelan dan pasti ke seluruh daratan eropa, menumbangkan kerajaan-kerajaan zalim berwajah agama, membuka kedok para "orang alim" yang selalu kelihatan rajin beribadah padahal sesungguhnya kedok itu sering digunakan untuk berbuat jahat, dan anehnya setelah membebaskan diri dari cengkeraman agama, Perancis dan Eropa membuka babak baru dengan revolusi industri, dimana mesin-mesin mulai menggantikan tenaga manusia. Kemajuan menjadi luar biasa dan kemudian lambat laun agama dilupakan dan gereja-gereja ditutup karena umat berkurang dari tahun ke tahun.

Yang saya herankan, selama 7 tahun hidup di Eropa, dan disambung lima tahun sering berkunjung ke sana, tanpa agama yang kental, mereka hidup baik-baik saja. Hidup bebas yang kita artikan sex bebas, lebih sering kita mendapat informasi yang salah bahwa setiap pria dan wanita yang baru ketemu langsung masuk kamar dan bersanggama, padahal pendapat itu sangat salah.

Yang pasti, hak pribadi seseorang sangat dihargai, dan setiap orang bebas melakukan apa saja selama tidak mengganggu orang lain dan tidak melanggar hukum. Membandingkan kehidupan kita di Indonesia yang katanya sangat religius dan  rajin beribadah, saya betul-betul bingung, lebih-lebih bingung nya lagi saat Kapolda mengatakan bahwa unjuk rasa akan dihadapi oleh polisi dengan berShalawat Badar.

Meskipun saya sering mendengar bahwa Tuhan dan Logika tidak bisa dipersatukan, saya tetap berpendapat bahwa logika adalah pemberian Tuhan, jika logika tidak bisa menemu kan Tuhan, maka Tuhan yang salah.

Mengatakan hal itu di depan teman-teman, saya selalu kaget melihat reaksi keras dari mereka dan sepulangnya ke rumah dalam kamarku sendiri, saya sering menerka-nerka Tuhan itu sebenarnya SIAPA.

Belum selesai menjawabnya, atau belum menemukan jawabannya, saya selalu sudah tertidur dan besok saya lupa lagi memikirkannya. Kadang-kadang saya juga benci pikiran saya sendiri kenapa harus memikirkan yang rumit-rumit begini, bukankah lebih mudah mengikuti orang-orang lain, tanpa berpikir, tanpa mempertanyakan, dan sekedar beribadah mengikuti arus yang ada.

Tapi pikiran ini tidak dapat dihentikan karena saya sudah hidup di dua dunia yang sangat kontras. Di Perancis, dimana agama praktis tidak ada, dimana pimpinan agamanya tidak pernah kelihatan, tapi kehidupan mereka baik-baik saja. Tidak pernah dicopet, tidak pernah kecurian, kendaraan teratur, orang-orang selalu menyapa selamat pagi, orang-orang selalu memberi jalan di jalanan, orang-orang saling bantu membantu, datang selalu tepat waktu, semua orang berhemat air, listrik, dan telpon.

Pegawai negerinya rajin bekerja, selalu membantu rakyat, tidak ada korupsi, ngurus KTP tidak pakai tip, ngurus SIM tidak pakai Tip, apa saja gratis, dan semua orang begitu rajin bekerja.

Hal sebaliknya yang terjadi di negara tercinta Indonesia ini, orang-orang rajin sembahyang, kitab suci di tangan, sembahyangnya sering dengan nada keras, menyapa dengan kata-kata dari kitab suci, tapi banyak rampok, lalu lintas kacau, tidak ada yang mau ngalah, KTP harus ada tip, pegawai negeri kelihatan selalu ngantuk dan kalau bekerja harus ada tip, polisi menghentikan kendaraan di jalan untuk diperiksa padahal selama 12 tahun melanglang buana di luar Indonesia, tidak pernah saya melihat razia/sweeping kendaraan bermotor, eh begitu tiba di Makassar Mei 2004, tiap hari saya diperiksa polisi sebanyak tiga kali karena ber plat nomor Jakarta.

Orang berutang ke saya, begitu nagih ke orangnya, eh malah saya dipenjarakan. Mau praperadilankan polisi eh malah saya dianiaya sampai harus nginap di rumah sakit Bhayangkara selama empat hari. Sudah saya yang dianiaya, malah saya lagi yang harus bayar rumah sakitnya, saya jadi bingung apa itu agama, apakah tidak diajarkan,  kalau sudah menganiaya dan menyebab kan orang diopname, harus tanggung jawab dengan membayar rumah sakit!

Lucunya, semua kejadian di atas, alasannya cuma satu. Waktu penyidikan saya disodori kertas yang bertuliskan bahwa saya harus memutihkan sisa utang  pelapor sebanyak 70 jutaan.

Merasa diperas, saya menolak dan kemudian pengadilan menjatuhkan hukuman percobaan terhadap pasal 310 KUHP, tapi pasal 335 KUHP yang menjadi dasar penangkapan dan penahanan, sama sekali tidak disentuh-sentuh karena bagaimana tidak saya didakwa melakukan penagihan paksa pada tanggal 19 Maret 2007, padahal laporan polisinya 15 Maret 2007.

Teman-teman selalu geleng-geleng kepala sambil tertawa mendengar cerita ini, tapi saya selalu sedih memikirkan orang-orang yang lemah dipermainkan oleh hukum, padahal perbuatan yang paling mendekati Tuhan adalah para penegak hukum.

Bangsa Indonesia secara bijak memisah kan negara dan agama tapi ada beberapa orang di negara ini, yang memanfaatkan simbol-simbol agama untuk mengelabui rakyat demi pencitraan bahwa aparat hukum itu bersih dan suci.

Padahal bukan baju atau sembahyang yang menjadi ukurannya, yang harus diukur adalah sejauh mana setiap aparat hukum men jalankan aturan-aturan yang telah ditetap kan untuk bekerja dan berani  menolak uang sebagai pengganti sesuatu.

Sebut saja yang paling gampang, penangguhan penahanan. Ini bisnis yang laris manis bagi polisi, jaksa, hakim, dan para ketua. Daripada sibuk membela diri, lebih baik kita menundukkan kepala dalam-dalam dan memberikan separuh dari uang penangguhan kepada yatim piatu dan fakir miskin.

Itu jelas-jelas lebih baik karena haramnya tinggal setengah. Mengatakan begini saya teringat Ketua Muhammadiyah, Bapak Maarif, yang mengatakan "Jangan mengelabui Tuhan". Lho, apakah Tuhan bisa dikelabui?? Wah orang Indonesia memang hebat. Tuhan saja bisa dikelabui. Saya tertawa dan mungkin Tuhan menangis....  [Pr] Mks, 25 Juni 2009,

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun