"West Papua adalah gambaran nyata surga yang sedang tercabik. Manusianya menjerit. Adat, budaya dan tempat sakral perlahan menghilang. Alamnya hancur. Sumber-sumber penghidupan hilang!"
Edo Kondologit dalam lagunya, "Aku Papua" bilang, "Papua surga kecil yang jatuh ke bumi."
Sesungguhnya, tanah Papua Barat (West Papua), bukan saja surga kecil, bukan pula kepingan surga, melainkan gambaran nyata dari Sang Ilahi, yang tak kelihatan itu.
Misteri-Nya nyata di atas tanah Papua, yang menyimpan sejuta keunikan. Keanekaragaman hayati. Keanekaragaman adat, budaya dan bahasa. Semuanya itu ada di tanah Papua.
Kekayaan Papua, seyogianya menjadi berkat bagi manusia Papua dan alam semesta Papua. Kenyataan berbanding terbalik.
Orang asli Papua (OAP), terutama yang tinggal di kampung-kampung hidup menderita, melarat tanpa jaminan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memadai.
Bahkan, OAP yang ada di kota-kota di Papua, tidak sedikit yang melarat, lantaran tidak ada tempat tinggal, atau ada tetap sekedar gubuk dan anak-anak mereka tidak bisa bersekolah.
Kekinian, wajah Papua yang cantik jelita, sedang terluka, berlumur darah. Jeritan anak-anak di kampung terpencil, atau di kampung di pinggiran kota, siapa yang mau mendengarkannya? Ibu hamil kekurangan gizi. Anak-anak lahir dengan gizi buruk. Anak-anak usia sekolah tidak bersekolah. Siapa mau peduli?
Bagaimana merawat Papua?
Sejak tahun 2001, Papua memiliki status otonomi khusus Papua (Otsus). Ironisnya, tidak ada kebijakan spesifik untuk melindungi OAP.
Kini, Otsus tahap II, yang ditandai dengan pemekaran provinsi: Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya. Otsus dan pemekaran dijadikan pijakan merawat Papua.
Ada uang. Ada kebijakan-kebijakan afirmatif. Tetapi, apakah semua kebijakan dan dana triliunan itu akan mampu merawat OAP?
a) Data Terpilah OAP
Dalam kurun waktu 2001-2024 ini, seluruh perencanaan pembangunan, khususnya untuk OAP berbasis apa? Sebab, data terpilah OAP sampai saat ini belum tersedia secara memadai.
Karena itu, perlu sinergi dan kolaborasi para pihak: adat, pemerintah, Gereja untuk segara memulai suatu diskusi, tetapi juga aksi bersama untuk pendataan OAP.
Data menjadi kunci untuk membuka tabir gelap pembangunan SDM OAP. Apabila data terpilah OAP tidak tersedia, maka sebesar apa pun dana Otsus yang diberikan, tidak akan mampu menjawab kebutuhan OAP.
Basis data terpilah OAP secara berjenjang dari kampung, distrik, kabupaten dan provinsi harus tersedia secara berkelanjutan. Dengan demikian, proses perencanaan dan pembangunan dapat tetap sasaran ke OAP.
b) Pola Pendekatan Adat-Budaya-Ekologi
Jauh sebelum Misi Protestan dan Katolik serta pemerintah menginjakkan kaki di tanah Papua, orang Papua telah hidup di atas tanah Papua dengan adat dan budaya mereka.
Gereja dan pemerintah tidak datang di ruang kosong OAP. Karena itu, kebijakan pembangunan di tanah Papua harus mengedepankan aspek adat dan budaya.
Selain itu, faktor ekologi, kesatuan dengan alam tidak dapat dipisahkan. Hutan alam Papua adalah tempat keramat, bukan sekedar tempat mengambil makanan. Karena itu, setiap kebijakan apa pun terkait hutan alam Papua perlu dibicarakan dengan bijaksana antara pemerintah dan pemilik ulayat.
c) Sinergi dan Kolaborasi untuk Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi
Sejenak kita mengarahkan mata hati ke pedalaman, ke kampung-kampung terpencil. Di sana, adakah anak-anak OAP sudah mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar yang memadai? Apakah di sana ada sekolah dasar dan guru yang mengajar? Apakah di sana ada Puskesmas Pembantu (Pustu) dan perawat?
Bagaimana dengan ekonomi keluarga-keluarga OAP? Mengapa puluhan tahun, kita tidak bisa mengkaderkan, melatih dan mendampingi OAP untuk membuka kios, toko dan usaha produktif lainnya? Apakah ada petugas pertanian, peternakan dan perikanan yang mendampingi OAP di kampung-kampung?
Rumah tempat tinggal OAP di kampung-kampung kondisinya bagaimana? Apakah ada air bersih untuk minum, mandi dan mencuci? Apakah pola makan dan asupan gizi sudah memadai?
Hati Tulus-Bersih Melayani Papua
Apa pun rencana, program kerja, strategi dan kiat-kiat yang jitu sekalipun, tanpa pemimpin yang jujur, sederhana dan rendah hati, maka Papua akan tetap berada di dalam penderitaannya!
Saat ini, Papua membutuhkan pemimpin yang jujur, sederhana dan rendah hati. Papua membutuhkan pemimpin yang terbuka dan berjiwa melayani dengan tulus ikhlas.
Kita telah hidup di era Otsus selama 23 tahun (2001-2024). Kita telah mengalami begitu banyak uang mengalir ke Papua, tetapi uang-uang itu tidak membuat OAP menjadi lebih baik di dalam rumahnya sendiri, rumah Papua. Karena itu, kita membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan tangguh supaya bisa mengelola rumah besar Papua ini.
Siapakah pemimpin yang tangguh itu? OAP sendiri harus melahirkan pemimpin-pemimpin itu. Orang dari luar, sebaik dan sepintar apa pun tidak akan mampu membawa OAP keluar dari penderitaannya.
OAP sendiri harus berjuang membawa bangsanya keluar dari setiap medan yang sulit, penuh onak dan duri, bahkan harus melintasi badai samudera sekalipun!
Kunci untuk membuka kegelapan Papua terletak pada pemimpin Papua. Syarat untuk dapat memimpin Papua hanya ada dua, yaitu 1) takut akan Tuhan; 2) hati pelayan.
Kedua hikmat inilah yang menjadi dasar untuk membawa Papua melintasi samudera menuju dermaga mandiri dan sejahtera di dalam rumah sendiri, rumah Papua. [Perpustakaan Merauke, 4 Juli 2024; 14:14 WIT].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H